DEMOKRASI.CO.ID - Pendiri Continuum Bigdata Center, Didik J. Rachbini menyebut, menggemanya wacana upaya menunda pemilu maupun memperpanjang masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi tiga periode sama dengan merusak demokrasi. Celakanya, para pelaku tersebut merupakan aktor politik yang lahir dari demokrasi.
"Ini ingin memasukan Jokowi ke dalam jurang kalau tiga periode," kata Didik dalam diskusi bertajuk "Dinamika Politik Menuju 2024: Apa Kata Big Data?" yang digelar secara daring, Minggu (5/2/2023).
Didik mengingatkan, secara prinsip demokrasi mengharuskan pembagian kekuasaan dan pembatasan masa jabatan. Adanya perpanjangan masa jabatan sama dengan membuka peluang adanya jabatan presiden seumur hidup seperti Soekarno atau langgengnya kekuasaan seperti Soeharto.
"Megawati (Ketum PDIP) tidak mau itu (Jokowi tiga periode). Tetapi partai-partai (lain) mau," ujarnya.
Berdasarkan penelusuran Continuum dalam dua pekan terakhir di media sosial (medsos), wacana penundaan pemilu masih menjadi perhatian publik. Khususnya para warganet (netizen). Namun suara yang muncul merupakan kritik atau bernuansa negatif.
Dengan begitu, Didik menyimpulkan bahwa mayoritas masyarakat tidak mendukung wacana penundaan pemilu. Wacana perpanjangan kepala desa juga demikian, tidak mendapatkan dukungan positif dari masyarakat
Dalam diskusi yang sama, Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES/Dewan Pakar Contiuum, Wijayanto mengungkapkan, isu politik mencakup perpanjangan masa jabatan presiden dan kepala desa didominasi oleh sentimen negatif rata-rata 95,7 persen.
"Perhatian publik terhadap hal ini cukup besar," ujarnya. [populis]