DEMOKRASI.CO.ID - Bharada E dalam persidangan mengatakan menjalankan perintah eks atasannya dan juga eks Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo untuk menembak Brigadir J. Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Al Azhar (UAI) Suparji Ahmad pun mempertanyakan motif Bharada E melaksanakan instruksi Sambo tersebut jika akhirnya keberatan dengan tuntutan 12 tahun penjara.
Sebab, Bharada E berpeluang menolak seperti yang dilakukan Ricky Rizal (Bripka RR) dengan alasan tak sanggup melukai teman sendiri.
"Mengapa terdakwa Richard Eliezer mematuhi perintah menembak korban Joshua sampai meninggal dunia, padahal korban Joshua adalah rekan kerja terdakwa yang sehari-harinya berinteraksi satu sama lain?" tanya dia saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (4/2).
Oleh sebab itu, Suparji sepakat dengan pendapat jaksa penuntut umum (JPU) terkait penembakan Brigadir J oleh Bharada E. Akibat tembakan tersebut, korban meninggal dunia.
"Terlepas apa pun motif terdakwa Eliezer menembak korban Joshua, cukup rasional pendapat penuntut umum bahwa ada niat jahat dalam perbuatan itu," katanya.
"Terdakwa Eliezer dihukum karena ketidaksanggupan untuk menolak perintah yang salah dari Ferdy Sambo," imbuhnya.
Di sisi lain, Suparji meminta semua pihak merespons polemik tuntutan 12 tahun penjara terhadap Bharada E dengan kepala dingin. Pangkalnya, JPU telah bekerja maksimal dan sesuai fakta persidangan.
"Permasalahan hukum yang muncul harus disikapi dengan kepala dingin, jangan sampai terpancing untuk memojokan aparat penegak hukum yang sudah bekerja secara maksimal dan berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan," ujarnya
"Kita tunggu putusan pengadilan yang dapat memberikan rasa keadilan sebagaimana juga telah disampaikan keadilan versi penuntut umum yang bekerja secara merdeka, tidak diintervensi oleh pihak kekuasaan mana pun, termasuk intervensi dari opini publik yang mungkin saja terjadi bias," imbuhnya.
Tuntutan 12 tahun ini menuai polemik lantaran banyak pihak merasa Bharada E harusnya dituntut lebih rendah.
Alasannya, berstatus sebagai saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator/JC). Suparji mengakui justice collaborator merupakan salah satu pihak yang berperan besar dalam mengungkapkan suatu tindak pidana.
Bahkan, sesuai Pasal 10 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, kesaksian justice collaborator dapat dijadikan pertimbangan untuk meringankan pidana yang akan dijatuhkan.
Namun, dirinya mengingatkan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mestinya memberikan status justice collaborator terhadap saksi pelaku sesuai Pasal 28 ayat (2) UU 31/2014.
Misalnya, bukan pelaku utama dalam tindak pidana yang dibongkarnya. Syarat-syarat pemberian status justice collaborator juga tertuang dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4/2011.
Di antaranya, yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut, serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.[populis]