DEMOKRASI.CO.ID - Analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun mengkritik usulan masa jabatan kepala desa (kades) diperpanjang menjadi 9 tahun, dari yang tadinya 6 tahun.
Menurut dia, perpanjangan masa jabatan kades itu dapat merusak demokrasi.
“Perpanjangan masa jabatan Kades itu merusak demokrasi, karena jabatan publik yang dipilih rakyat dalam demokrasi harus dipergilirkan untuk menghindari adanya kecenderungan korupsi dan otoriter,” ujar Ubedilah dikutip dari akun Twitternya, Jumat (20/1/2023).
“Enam tahun saja tercatat ada 686 Kades yang menjadi tersangka korupsi. Mau sembilan tahun?" sambungnya.
Sebelumnya, Ribuan kepala desa menuntut perpanjangan masa jabatan dari 6 tahun menjadi 9 tahun melalui aksi unjuk rasa di depan gedung DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (17/1). Presiden Joko Widodo atau Jokowi disebut setuju adanya perpanjangan masa jabatan kepala desa tersebut.
Itu disampaikan oleh politisi PDIP Budiman Sudjatmiko seusai dipanggil Jokowi ke Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa. Ia dipanggil dengan kapasitas sebagai pembuat Naskah Akademik Undang-Undang Desa.
"Saya bicara dengan pak Jokowi dan pak Jokowi mengatakan sepakat dengan tuntutan itu. Beliau, pak presiden mengatakan tuntutan itu masuk akal, ya," kata Budiman.
Budiman menerangkan kalau masa jabatan kepala desa itu 6 tahun untuk satu kali periode. Kepala desa juga bisa menjabat selama dua periode lagi apabila terpilih.
Sehingga seorang kepala desa itu bisa menjabat hingga 18 tahun lamanya. Aturan itu ternyata banyak menimbulkan efek sosial di lapangan.
"Karena kalau kita pilih kepala desa kan dengan tetangga dengan saudara sendiri itu kadang-kadang 3 tahun, 2 tahun pertama itu nggak selesai konfliknya sehingga sisa 3 tahun atau 4 tahun nggak cukup untuk membangun desa," terangnya.[populis]