DEMOKRASI.CO.ID - Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menyoroti permasalahan dalam sistem demokrasi dan pemerintahan menjelang tahun politik 2024. Direktur Pusat Media dan Demokrasi LP3ES Wijayanto mengkritik sistem pemerintahan yang kini minim check and balances, terutama dari DPR terhadap pemerintah.
Hal itu disampaikan dalam acara LP3ES peluncuran outlook 2023 dengan tajuk 'Ritual Oligarki Menuju 2024' yang diadakan secara daring, Minggu (29/1/2023). Hadir di acara itu, yakni Direktur Eksekutif LP3ES Fahmi Wibawa, Direktur Pusat Hukum dan HAM LP3ES Herlambang P Wiratraman, Peneliti senior LP3ES Malik Ruslan, Peneliti LP3ES Bangkit Wiryawan, dan Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini.
Wijayanto menyampaikan demokrasi kini mengalami kemunduran. Dia menyebutkan sejumlah faktor di belakangnya.
"2024 hanya menjadi ritual klasik kekuasaan di antara elite. Pertama, diabaikannya aturan main demokratis. Kedua pelemahan lawan politik. Ada isu penundaan pemilu yang masih membayangi publik," kata Wijayanto dalam pemaparannya.
Wijayanto pun melihat fenomena DPR saat ini paling hening sepanjang sejarah reformasi. Menurutnya, kini DPR selalu 'seiya sekata' dengan pemerintah.
"Itu merefleksikan kenyataan bahwa semua lawan politik atau oposisi sudah ada bagian di kekuasaan. Maka kemudian barangkali saya sampaikan DPR kita hari ini adalah DPR yang paling hening di sepanjang sejarah reformasi. Di mana DPR selalu seiya sekata dengan pemerintah. Padahal fungsinya seharusnya adalah untuk melakukan kritis kepada pemerintah. Bareng-bareng untuk melemahkan KPK, untuk Omnibus Law, untuk RKUHP," katanya.
Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini memandang permasalahan demokrasi hari ini disebabkan sistem pemerintahan yang tidak koheren atau berkaitan secara efektif. Menurut Titi, konsensus atau kesepakatan yang muncul oleh para elite politik bukan untuk mengokohkan check and balances, melainkan berorientasi pada bagi-bagi kekuasaan.
"Saya kira, tadi sudah banyak diurai bahwa kegagalan kita dikontribusikan oleh ketidakmampuan menghadirkan koherensi antarsistem. Jadi gimana sistem itu didesain terpisah dan secara sengaja untuk tidak terhubung secara efektif mulai dari sistem kepartaian, pemilu, sampai dengan sistem pemerintahan kita," katanya.
"Nah itu yang kemudian membuat kita kesulitan mendapat output yang sifatnya akuntabel dan efektif. Bukan kita tidak mampu mencapai konsensus tetapi konsensus yang kita wujudkan melalui kesepakatan para elite itu justru bukan untuk mengokohkan pemisahan kekuasaan ataupun mekanisme check and balances tetapi yang lebih mengedepankan bagi-bagi kekuasaan," imbuhnya.
Titi lalu menyinggung syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebesar 20% yang menurutnya tak ada rujukan akademiknya di dunia. Dia menilai syarat presidential threshold ini belakangan justru tak menciptakan pemerintahan yang efektif atau kontrol di antara capres yang berkontestasi.
"Makanya itu menjelaskan ketika bagaimana proses pemilu yang didesain dengan ambang batas pencalonan yang sangat tinggi, itu tidak ada preseden akademiknya di dunia. Satu-satunya itu di Indonesia. Nomination preshold 20% kursi dan itu dari pemilu sebelumnya. Kan janji manisnya ambang batas itu akan melahirkan sistem pemerintahan yang efektif atau presidential yang kuat atau salah satunya kontrol yang terjalin di antara kontestan yang berkompetisi," ujarnya.
Sebabnya, kata Titi, capres yang menjadi rival justru ikut bergabung ke dalam pemerintahan capres yang terpilih, sehingga melemahkan kontrol. Dia mengatakan hal ini menjadi problem besar dalam perpolitikan di Indonesia.
"Tapi kan praktiknya tidak begitu, selesai pemilu justru yang tadinya berlawanan malah merapat untuk juga mendapatkan kue-kue kekuasaan dan melemahkan kontrol. Jadi saya kira ini yang menjadi problem besar dalam sistem politik yang terjadi di Indonesia hari ini," kata dia.[detik]