DEMOKRASI.CO.ID - Pernyataan Ketua DPP Nasdem Effendy Choirie atau Gus Choi mengenai Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang harus meminta izin terlebih dahulu kepada partai pengusungnya sebelum reshuffle kabinet menjadi sorotan publik.
Hal itu, Gus Choi katakan merujuk pada wancana reshuffle kabinet Jokowi yang disebut-sebut menyasar ke Menteri dari Partai Nasdem.
Mengenai hal itulah, Gus Choi mengatakan Jokowi seharusnya menghormati hak partai Nasdem sebagai pengusung Jokowi. Pasalnya, partainya sudah mendukung Jokowi sejak periode pertama tahun 2014 silam.
"NasDem itu pendukung setia Pak Jokowi sejak 2014.Reshufflesekarang itu apa sudah menghormati hak NasDem sebagai pengusung? Misalnya Pak Surya diajak konsultasi, ditanya, diberitahu (soalreshufflekabinet), itu yang saya tidak tahu," tutur Gus Choi, Sabtu (7/1/2023).
Pernyataan Gus Choi ini, ditanggapi oleh pegiat media sosial Mazdjo Pray.
Bermula, Mazdjo menyinggung penyataan Gus Choi terkait Jokowi bukan raja yang tiba-tiba menjadi penguasa tanpa dukungan partai.
“Pak Jokowi memang bukan raja, tapi dia presiden. Lah, emang Surya Paloh itu siapa? Presiden bukan, raja juga bukan,” tutur Mazdjo dilansir dari kanal Youtube MindTV Indonesia, Selasa (10/1/2023).
“Apa karena Surya Paloh terlihat lebih sangar dan brewokan gitu makannya Pak Jokowi harus izin dulu sebelum melakukan reshuffle?” ujar Mazdjo.
Ia menilai Gus Choi tak memahami hukum tata negara. Pasalnya, tak ada regulasi yang mengatur presiden harus berkonsultasi apalagi meminta izin sebelum melakukan reshuffle kabinet. Di sisi lain, reshuffle juga merupakan hak prerogatif Jokowi sebagai presiden.
“Dengan pernyataan Effendy Choirie yang meminta Jokowi lapor dulu ke Surya Paloh kalau mau reshuffle, Nasdem seolah memperlakukan Jokowi seperti pesuruhnya Surya Paloh. Ini kebalik!” tutur Mazdjo.
Tak hanya itu, Mazdjo juga mengkritisi Nasdem yang ribut sendiri lantaran berusaha berpolitik dua kaki. Pasalnya, selama ini Nasdem sudah mendapatkan banyak keuntungan politik dengan menjadi koalisi Jokowi sejak tahun 2014.
"Kalau semua keuntungan sebagai partai koalisi itu perlahan-lahan bakal sirna, itu bukan karena Pak Jokowi tidak tahu terima kasih. Tapi karena NasDem yang gatal pengin buru-buru berkuasa penuh dengan buru-buru angkat Anies sebagai bakal capres," tutur Mazdjo.
"Kemudian mem-branding Anies seolah-olah sebagai lawannya Pak Jokowi, antitesa Pak Jokowi, di mana menurut NasDem mereka akan terus dukung Pak Jokowi. Ini maksudnya NasDem gimana ya? Main dua kaki? Bermuka dua?" pungkasnya.[populis]