DEMOKRASI.CO.ID - Bekas Kadiv Propam, Irjen Ferdy Sambo, dibawa dan ditempatkan di Mako Brimob karena diduga melanggar etik dalam penanganan kasus tewasnya Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J. Langkah tim bentukan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo ini diapresiasi.
"Langkah Kapolri dengan membawa Irjen Sambo ke Mako Brimob sebagai upaya untuk menegaskan otoritas pimpinan Polri untuk segera menuntaskan insiden di rumah dinas Kadivpropam," kata guru besar politik dan keamanan dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Prof Muradi, Minggu (7/8/2022).
"Hal ini adalah bagian dari skema untuk mendalami sejauh mana keterlibatan Irjen Sambo dan 24 perwira lainnya dalam upaya menghalang-halangi upaya pengungkapan insiden tersebut," sambungnya.
Menurut Muradi, penempatan Irjen Ferdy Sambo di Mako Brimob atas dugaan pelanggaran etik adalah langkah baik. Timsus bentukan Kapolri ini nantinya bisa secara bertahap meningkatkan status tersangka kepada Irjen Sambo jika ada keterlibatan aktif dalam kasus tewasnya Brigadir Yoshua.
"Karena begitu banyak kejanggalan yang muncul dalam upaya pengungkapan insiden tersebut," ucapnya.
"Penahanan terhadap irjen Sambo di Mako Brimob juga dilakukan agar yang bersangkutan tidak lagi aktif dalam melakukan upaya pengaburan informasi dan juga membangun persepsi publik dari sejumlah temuan yang berkembang baik dari penyidik Polda Metro maupun dari penyidik Bareskrim. Ini bagian dari upaya memutus manuver yang dilakukan utamanya berkaitan dengan pengalihan informasi dan apa yang ditemukan oleh penyidik maupun oleh timsus bentukan Kapolri," sambungnya.
Muradi menambahkan, jika memang betul terjadi pelanggaran etik oleh Irjen Sambo dan juga 24 perwira lainnya, publik meyakini bahwa ada sesuatu yang disembunyikan dan perlu digali lebih dalam keterlibatan dari Irjen Sambo pada insiden tersebut.
"Maka, jika kemudian ada indikasi keterlibatan aktif atas insiden tersebut, maka tahapan selanjutnya adalah melakukan penahanan sebagai tersangka bukan hanya pelanggaran etik. Pertanyaan publik patut dilihat sebagai sesuatu yang masuk akal dan butuh jawaban konkret, mengapa ke-25 perwira tersebut, termasuk Irjen Sambo melakukan hambatan dan berkesan menghalang-halangi proses pengungkapan insiden tersebut jika tidak ada yang ingin diselamatkan," paparnya.
Muradi juga menyatakan ada dua hal yang perlu ditegaskan terkait penempatan Irjen Sambo di Mako Brimob atas dugaan pelanggaran etik. Pertama, menurutnya, ini adalah bagian dari upaya mematahkan persepsi yang juga berkembang, baik di internal maupun publik, bahwa Irjen Sambo adalah 'orang kuat' dan berpengaruh di internal Polri, sehingga tidak tersentuh.
Persepsi publik itu akan terpatahkan manakala tahapan selanjutnya adalah peningkatan status sebagai tersangka, jika ditemukan keterlibatan aktif dalam insiden di rumah dinas Irjen Sambo tersebut.
"Kedua, penahanan atas pelanggaran etik itu juga akan berpengaruh pada skema 'penyelamatan' atas dugaan keterlibatan sejumlah perwira atas insiden tersebut. Artinya, penetapan tersangka kepada sejumlah perwira menjadi sangat mungkin dilakukan, karena tidak ada lagi upaya tersebut karena penyidik dan juga Timsus sudah mengunci semua ruang untuk pengaburan atas informasi dan pembangunan opini yang berlawanan. Dengan lain kata, harusnya pimpinan Polri dapat menyegerakan penuntasan atas insiden tersebut lalu kembali fokus pada kerja-kerja yang lebih strategis sebagai bagian dari pengemban keamanan dalam negeri," jelasnya. [detik]