DEMOKRASI.CO.ID - Pengenaan pasal Pasal 338 KUHP Jo Pasal 55 dan 56 KUHP terhadap Richard Eliezer Pudihang Lumiu (Bharada E) belum tepat.
Pasal tersebut jelas menimbulkan tanda tanya besar karena kematian Brigadir J bersinggungan dengan campur tangan para Pati (Perwira Tinggi), Pamen (Perwira Menengah) sampai kelas Tamtam di tubuh Polri.
Dugaan keterlibatan kelompok kecil di tubuh Polri ini terbangun atas dasar ‘konsorsium’ terikat dengan satu dan lain hal dalam melanggengkan kekuasaan, demi keuntungan yang dibuat.
Ini disampaikan praktisi hukum Syamsul Arifin melihat fenomena yang terangkum dalam ragam pemberitaan sejak ‘drama’ berdarah itu pecah di Duren Tiga, Jakarta Selatan.
Syamsul Arifin menjelaskan, pasal dan fakta hukum tidak sejalan. Ini bisa dicermati dari isi Pasal 338 KUHP Jo Pasal 55 dan 56 KUHP sangat sederhana, tapi ternyata ada para perwira sampai tamtama yang dinonaktifkan.
Kuatnya unsur keterlibatan oknum di institusi Polri dalam kasus kasus kematian Brigadir J lantaran gagalnya sebuah skenario dari narasi yang diciptakan.
Muncul kesan terburu-buru, demi menyelamatkan satu orang berpengaruh yang diduga mengetahui, dan terlibat langsung dalam pembunuhan berencana Brigadir J
“Konsorsium lalu berupaya menyelamatkan seseorang dari peristiwa berdarah itu. Dengan mengedepankan motif pelecehan seksual, ini baru dugaan,” ungkapnya.
Bharada E kemungkinan hanya korban, atas perintah pihak yang terlibat dalam konsorsium tersebut. “Ini baru spekulasi mendasar dari fakta yang kita saksikan bersama ya,” jelas Syamsul.
Kerja sama yang rapi dalam hal kejahatan, sambung Syamsul, akan mudah ditembus dengan logika berpikir yang sederhana. Ini seiring dengan berjalannya waktu dan kuatnya temuan-temuan yang telah disampaikan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
“Saya yakin insting Kapolri tajam. Beliau orang terlatih. Kepercayaan Presiden. Dan terbukti dengan dinonaktifkannya sejumlah Pati, Pamen dan kelas Tamtama mulai terlihat satu per satu belangnya. Karena sejak awal ada yang tidak sinkron. Antara fakta dan narasi yang dibangun,” imbuhnya.
Maka, sambung Syamsul, sebaiknya sangkaan Pasal 338 KUHP juncto pasal 55 dan 56 KUHP dieliminir diganti dengan pasal yang lebih memberatkan.
Jika pasal ini dikenakan, kemungkinan besar Bharada E atau Bharada Eliezer akan buka suara. “Sekali lagi saya menduga pasal ini hanya sekadar sandaran untuk memenjarakan Bharada E yang kemungkinan bukan pelaku tunggal,” jelasnya.
Kecurigaan pada praktik awal bisa diamati dari penjelasan yang disampaikan Polres Jakarta Selatan, Polda Metro Jaya termasuk apa yang disampaikan Kadiv Humas Polri.
“Amati saja, dan semua tercatat dan terekam dengan jelas. Wajar dong publik mengkritisi. Karena fakta dan apa yang disampaikan beda. Soal pelecehan PC (Istri Sambo) tinggal dibuktikan saja. Karena sejak pada Juli lalu sudah ada ancaman dari inisial D,” papar Syamsul.
Selanjutnya, jika peristiwa ini ada keterlibatan Irjen Pol Ferdy Sambo dan intervensi ‘konsorsium’ di dalam tubuh Polri, lagi-lagi pengenaan pasalnya adalah 340 KUHP bukan 338.
Berikut ini isi dua pasal tersebut:
- Pasal 338 KUHP berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena makar mati, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.”
- Pasal 340 KUHP berbunyi: “Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”.
Dijelaskan Syamsul, sangkaan Pasal 338 KUHP juncto pasal 55 dan 56 KUHP itu pasal biasa. Tiada ada yang istimewa. Lalu apakah kasus ini berkaitan dengan langkah yang dilakukan Dittipidum Bareskrim Polri? Syamsul menegaskan jelas ada dan sinkron.
“Ya jelas ada. Ngapain para jenderal itu dinonaktifkan sampai Sambo ditangkap dan ditempatkan di Mako Brimob? Artinya ada kaitannya kan. Dari penghilangan barang bukti, dan dimensi hukum lain yang melilitnya,” jelas Syamsul Arifin.
Bisa disimpulkan, sambung Syamsul, kasus ini saling terkait jika merujuk pada kronologi kematian Brigadir J. Berarti, apa yang disampaikan pengacara keluarga Brigadir J bukan spekulasi, tapi mengarah pada kebenaran.
“Ada yang mati, ada yang mengaku membunuh, ada TKP, ada yang diperiksa, ada yang punya Glock 17, ada yang sudah di sel. Artinya ini bukan tunggal. Saya menduga ini lebih dari 5 sampai 6 orang pelakunya,” ungkapnya.
Peristiwa pembunuhan itu bisa saja dilakukan dengan senyap tapi akhirnya terbongkar.
“Senyap karena awalnya cuma sebatas peringatan, tapi akhirnya meletus hingga berujung pembunuhan. Senyap karena baru dipublikasi 3 hari setelah kejadian. Saya kok yakin ya Bharada E hanya tumbal dari aksi konsorsium tadi,” timpalnya.
Syamsul juga menilai kasus ini juga tidak ada kaitannya dengan kode etik yang tertera dalam Perkap Kapolri Nomor 7. Disangkakan melanggar kode etik Polri karena belum ada putusan sidang etik.
“Sambo sudah disidang kode etik? Kapan”. Apa iya Anda mau dituduh pembunuh tanpa ada bukti? Jadi alasan ditempatkannya Sambo di Mako Brimob karena adanya pelanggaran etik ya jelas absurd, saya menduga ini kaitannya pidana,” papar Syamsul Arifin.
Alasan Ditempatkan di Mako Brimob
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo menyebutkan Ferdy Sambo ditempatkan di tempat khusus (Patsus) di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jabar, selama 30 hari.
Mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri Irjen Pol. Ferdy Sambo diduga melakukan pelanggaran prosedur dalam penanganan tempat kejadian perkara (TKP) tewasnya Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigasir J di rumah dinasnya Duren Tiga, Jakarta Selatan.
Sebelumnya, Ferdy Sambo diperiksa oleh Inspektorat Khusus (Itsus) pada Sabtu 6 Agustus 2022 terkait etik dalam penanganan TKP Duren Tiga, dan langsung ditempatkan di patsus Mako Brimob dalam rangka pemeriksaan.
”Dalam konteks pemeriksaan. Jadi tidak benar ada itu (penangkapan dan penahanan),” ujar Dedi, Sabtu 6 Agustus 2022.
Selama ditempatkan di patsus, Ferdy Sambo dijaga ketat oleh anggota Polri. Selain memeriksa pelanggaran kode etik-nya, Tim khusus (Timsus) Polri juga menyelidiki dugaan tindak pidana terhadap 25 anggota Polri yang melanggar prosedur tidak profesional menangani TKP Duren Tiga.
Dari 25 orang yang diperiksa tersebut, kata Dedi, terdapat empat orang yang ditempatkan di tempat khusus (Patsus) dalam rangka pembuktian yang lainnya, yakni sidang kode etik karena tidak profesional di dalam melaksanakan olah TKP, salah satunya Ferdy Sambo.
Berdasarkan hasil pemeriksaan Tim gabungan Pengawasan Pemeriksaan Khusus (Wasriksus) terhadap Ferdy Sambo yang diduga melakukan pelanggaran prosedur dalam penanganan tindak pidana meninggalnya Brigadir J di rumah dinas Kadiv Propam Polri.
Ia menyebutkan, dari hasil pemeriksaan Wasriksus atau Inspektorat Khusus terkait masalah tersebut, sudah diperiksa 10 saksi. [disway]