DEMOKRASI.CO.ID - Mantan Kabais TNI, Soleman B Ponto menyoroti perihal skenario dalam pembunuhan Brigadir J.
Menurutnya cara-cara yang dilakukan dalam skenario pembunuhan Brigadir J tersebut seperti cara mafia.
Hal ini diungkapkan oleh Soleman B Ponto di kanal YouTube Refly Harun dengan judul: "PENGAKUAN RE BERBEDA DENGAN POLISI, SOLEMAN PONTO: USUT SEMUA PIHAK, TARIK KE MEJA HIJAU!" yang diunggah pada 10 Agustus 2022.
"Setelah mereka membunuh, mereka bersihkan TKP, mereka buang semua alat bukti lalu mereka bikin alibi, lalu mereka bikin cerita bohong. Itu sudah terjadi berpuluh tahun mafia seperti itu," ujar Soleman.
Namun Soleman bak terkejut dan tak menyangka cara tersebut terjadi lagi dan melibatkan oknum Polri.
"Untuk itu kita bersama-sama harus lawan mafia ini, jangan sampai polisi ini di bawah kendali mafia," tegas mantan Kabais TNI.
"Kalau polisi di bawah kendali mafia, habis lah negeri ini," sambungnya.
Selain itu, Soleman juga menekankan dalam kasus ini tidak bisa berharap banyak pada hasil jika prosedurnya sudah salah.
"Kita terkaget-kaget bapak Sambo ini diambil, ditaruh ditempatkan di tempat khusus, ini kan barang baru di kuping kita," ujarnya.
"Lalu kita mencoba terjemahkan sendiri, menempatkan di tempat khusus sama saja penahanan," sambungnya.
Soleman mengaku heran, judulnya kode etik tapi prosedurnya meniru tentang penegakan hukum pidana.
"Ini tidak bagus untuk pak Ferdy Sambo, bagi kita juga tidak bagus, kan kita bingung sendiri" tegasnya.
Lanjut mantan Kabais TNI, semua yang terlibat dalam kasus Brigadir J baiknya harus diperiksa untuk temui titik terang.
"Siapa saja yang jadi amplifier. Kalau yang disampaikan di hari pertama terbalik maka semuanya yang tersangkut semuanya harus diseret di depan meja hijau," ujar Soleman.
Ia juga mengungkapkan jejak digital yang ada saat ini bisa jadi penentu untuk membongkar adanya berita bohong.
"Buka jejak digital, lihat siapa saja yang ikut, siapa saja yang jadi amplifier. Itu semua harus diseret," ujarnya.
"Kita harus terus jangan bosan-bosan, kita harus membantu polisi"sambungnya.
Jadi dalam kesimpulannya, Soleman mengajak untuk membantu Polri melawan mafia-mafia.
Keterangan baru dari Komnas HAM
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) temukan lima data rekaman recorder CCTV hasil uji balistik Tim Puslabfor Mabes Polri dalam kasus tewasnya Brigadir Nopryansah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.
"Yang pertama soal DVR (Digital Video Recorder) kaitannya dengan rekaman CCTV. Jadi ada lima DVR tadi yang disampaikan infonya, datanya, ke Komnas HAM," ungkap Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara, Rabu 10 Agustus 2022.
Sementara Komisioner Komnas HAM lainnya, Choirul Anam menambahkan temuan hasil CCTV tersebut sudah diminta oleh pihaknya ketika pertama kali pemeriksaan. Akan tetapi pada saat itu, pihak Puslabfor sedang mencari dan melengkapi hasil CCTV tersebut.
"Kan DVR ini sebelumnya sudah kami minta ketika digital forensik pertama kali datang ke Komnas HAM. Terus memang minta waktu untuk melakukan uji forensiknya," terang Anam, dilansir dari PMJ NEWS.
"Tadi kami diberikan hasilnya, kalau ada pertanyaan apakah itu rusak, tidak rusak, kenapa rusak, atau apapun kondisinya tadi kami dikasih tahu," sambungnya.
Diberitakan sebelumnya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengumumkan penetapan Irjen Pol Ferdy Sambo sebagai tersangka kasus kematian Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J.
"Timsus menetapkan saudara FS sebagai tersangka," ujar Sigit.
Sigit menambahkan, Ferdy Sambo disangkakan dengan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana terhadap Brigadir J di rumah dinasnya.
Di sisi lain, mantan Kadiv Propam Polri, Irjen Pol Ferdy Sambo telah resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus pembunuhan Brigadir Brigadir J.
Kabareskrim Polri, Komjen Pol Agus Andrianto mengatakan timsus Polri menerapkan pasal pembunuhan berencana terhadap Ferdy Sambo atas perannya dalam membuat skenario pembunuhan.
"Berdasarkan pemeriksaan terhadap tersangka, menurut peran masing-masing, penyidik menerapkan Pasal 340 subsider Pasal 338 juncto 55, 56 KUHP," ungkap Agus Andrianto dalam konferensi pers, Selasa 9 Agustus 2022.
"Dengan ancaman maksimal hukuman mati, penjara seumur hidup, atau penjara selama-lamanya 20 tahun," sambungnya. [disway]