DEMOKRASI.CO.ID - Praktisi hukum Syamsul Arifin berharap Polri dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengawal dan mengamankan Richard Eliezer Pudihang Lumiu (Bharada E) sebagai saksi kunci.
Sebab, Bharada E merupakan saksi kuncil dalam kasus tewasnya Nofriansyah Joshua Hutabarat (Brigadir J) di komplek Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan, Jumat 8 Juli 2022.
“Justice Collaborator adalah orang yang memberikan kerja sama substansial dalam penyelidikan atau penuntutan (Justice Collaborator) dalam suatu tindak pidana, sebagaimana yang telah disebutkan pada Pasal 37 Ayat 3 dalam Konvensi PBB itu. Maka lindungi Bharada E,” papar Syamsul Arifin kepada Disway.id Minggu 7 Agustus 2022.
"Kesaksiannya sangat dibutuhkan dalam membongkar fakta sebenarnya apa yang terjadir di Duren Tiga. Wajar tho kalau kita minta Bharada E dilindungi. Saya khawatir dia diracun sampai mati," timpal Syamsul Arifin.
Terkait pengenaan pasal Pasal 338 KUHP Jo Pasal 55 dan 56 KUHP terhadap Richard Eliezer Pudihang Lumiu (Bharada E) belum tepat.
Pasal tersebut jelas menimbulkan tanda tanya besar karena kematian Brigadir J bersinggungan dengan campur tangan para Pati (Perwira Tinggi), Pamen (Perwira Menengah) sampai kelas Tamtam di tubuh Polri.
Dugaan keterlibatan kelompk kecil di tubuh Polri ini terbangun atas dasar ‘konsorsium’ terikat dengan satu dan lain hal dalam melanggengkan kekuasaan, kekuatan, demi keuntungan yang dibuat.
Ini disampaikan praktisi hukum Syamsul Arifin melihat fenomena yang terangkum dalam ragam pemberitaan sejak ‘drama’ berdarah itu pecah di Duren Tiga, Jakarta Selatan.
Syamsul Arifin menjelaskan, pasal dan fakta hukum tidak sejalan. Ini bisa dicermati dari isi Pasal 338 KUHP Jo Pasal 55 dan 56 KUHP sangat sederhan, tapi ternyata ada para perwira sampai tamtama yang dinonaktifkan.
Kuatnya unsur keterlibatan oknum di institusi Polri dalam kasus kasus kematian Brigadir J lantaran gagalnya sebuah skenario dari narasi yang diciptakan.
Muncul kesan terburu-buru, demi menyelamatkan satu orang berpengaruh yang diduga mengetahui, dan terlibat langsung dalam pembunuhan berencana Brigadir J
“Konsorsium lalu berupaya menyelamatkan seseorang dari peristiwa berdarah itu. Dengan mengedepankan motif pelecehan seksual, ini baru dugaan,” ungkapnya.
Bharada E kemungkinan hanya korban, atas perintah pihak yang terlibat dalam konsorsium tersebut. “Ini baru spekulasi mendasar dari fakta yang kita saksikan bersama ya,” jelas Syamsul.
Kerja sama yang rapi dalam hal kejahatan, sambung Syamsul, akan mudah ditembus dengan logika berpikir yang sederhana. Ini seiring dengan berjalannya waktu dan kuatnya temuan-temuan yang telah disampaikan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
“Saya yakin insting Kapolri tajam. Beliau orang terlatih. Kepercayaan Presiden. Dan terbukti dengan dinonatifkannya sejumlah Pati, Pamen dan kelas Tamtama mulai terlihat satu per satu belangnya. Karean sejak awal ada yang tidak singkron. Antara fakta dan narasi yang dibangun,” imbuhnya.
Maka, sambung Syamsul, sebaiknya sangkaan Pasal 338 KUHP juncto pasal 55 dan 56 KUHP dieliminir diganti dengan pasal yang lebih memberatkan.
Jika pasal ini dikenakan, kemungkinan besar Bharada E atau Bharada Eliezer akan buka suara. “Sekali lagi saya menduga pasal ini hanya sekadar sandaran untuk memenjarakan Bharada E yang kemungkinan bukan pelaku tunggal,” jelasnya.
Kecurigaan pada praktik awal bisa diamati dari penjelasan yang disampaikan Polres Jakarta Selatan, Polda Metro Jaya termasuk apa yang disampaikan Kadiv Humas Polri.
“Amati saja, dan semuat tercatat dan terekam dengan jelas. Wajar dong publik mengkritisi. Karena fakta dan apa yang disampaikan beda. Soal pelecehan PC (Istri Sambo) tinggal dibuktikan saja. Karena sejak pada Juli lalu sudah ada ancaman dari inisial D,” papar Syamsul.
Selanjutnya, jika peristiwa ini ada keterlibatan Irjen Pol Ferdy Sambo dan intervensi ‘konsorsium’ di dalam tubuh Polri, lagi-lagi pengenaan pasalnya adalah 340 KUHP bukan 338.
Berikut ini isi dua pasal tersebut:
- Pasal 338 KUHP berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena makar mati, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.”
- Sementara Pasal 340 KUHP berbunyi: “Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”.
Dijelaskan Syamsul, sangkaan Pasal 338 KUHP juncto pasal 55 dan 56 KUHP itu pasal biasa. Tiada ada yang istimewa. Lalu apakah kasus ini berkaitan dengan langkah yang dilakukan Dittipidum Bareskrim Polri? Syamsul menegaskan jelas ada dan singkron.
“Ya jelas ada. Ngapain para jenderal itu dinonaktifkan sampai Sambo ditangkap dan ditempatkan di Mako Brimob? Artinya ada kaitannya kan. Dari penghilangan barang bukti, dan dimensi hukum lain yang melilitnya,” jelas Syamsul Arifin.
Bisa disimpulkan, sambung Syamsul, kasus ini saling terkait jika merujuk pada kronologi kematian Brigadir J. Berarti, apa yang disampaikan pengacara keluarga Brigadri J bukan spekulasi, tapi mengarah pada kebenaran.
“Ada yang mati, ada yang mengaku membunuh, ada TKP, ada yang diperiksa, ada yang punya Glock17, ada yang sudah disel. Artinya ini bukan tunggal. Saya menduga ini lebih dari 5 sampai 6 orang pelakunya,” ungkapnya.
Peristiwa pembunuhan itu bisa saja dilakukan dengan senyap tapi akhirnya terbongkar.
“Senyap karena awalnya cuma sebatas peringatan, tapi akhirnya meletus hingga berujung pembunuhan. Senyap karena baru dipublikasi 3 hari setelah kejadian. Saua kok yakin ya Bharada E hanya tumbal dari aksi konsorsium tadi,” timpalnya.
Syamsul juga menulai kasus ini juga tidak ada kaitannya dengan kode etik yang tertera dalam Perkap Kapolri Nomor 7. Disangkakan melanggar kode etik Polri karena belum ada putusan sidang etik.
“Sambo sudah disidang kode etik? Kapan”. Apa iya Anda mau dituduh pembunuh tanpa ada bukti? Jadi alasan ditempatkannya Sambo di Mako Brimob karean adanya pelanggaran etik ya jelas absure, saya menduga ini kaitannya pidana,” papar Syamsul.
Sementara itu, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo meluruskan informasi terkait penangkapan dan penahanan Irjen Ferdy Sambo, yakni yang bersangkutan baru ditempatkan di tempat khusus di Mako Brimob Polri.
"Malam ini yang bersangkutan (Ferdiy Sambo) ditempatkan di tempat khusus, yaitu Mako Brimob Polri," kataDedi Prasetyo di Mabes Polri secara daring, Sabtu malam 6 Agustus 2022.
Dedi juga menjelaskan bahwa Inspektorat Khusus (Irsus) Polri telah menetapkan Irjen Pol. Ferdy Sambo melanggar aturan tidak profesional dalam menangani olah tempat kejadian perkara (TKP) meninggalnya Brigadir Yosua di Duren Tiga, Jakarta Selatan.
Dedi menyebutkan Timsus sedang mendalami proses penyidikan terkait masalah TKP Duren Tiga, bekerja secara pr justicia.
Selain Timsus juga ada Irsus yang sedang memeriksa 25 orang personel Polri terkait tidak profesional dalam menangangani TKP Duren Tiga.
"Seperti yang disampaikan Bapak Kapolri tadi malam (Jumat) bahwa Irsus sudah melakukan pemeriksaan terhadap 25 orang. Dari 25 orang ini empat sudah ditempatkan di tempat khusus (Pansus)," kata Dedi.
Penempatan khusus bagi empat orang tersebut, kata Dedi, dalam rangka untuk proses pembuktian, kemudian dilakukan sidang etik karena tidak profesionalian laksanakan olah TKP.
"Dari hasil kegiatan pemeriksaan tim gabungan Pengawasan Pemeriksaan Khusus terhadap perbuatan Irjen FS yang diduga melakukan pelanggaran prosedur dalam penanganan tindak pidana meninggalnya Brigadir J di rumah dinas Kadiv Propam Polri," ujar Dedi.
Dedi menambahkan, dari hasil pemeriksaan Irsus terkait masalah peristiwa tersebut sudah memeriksa kurang lebih 10 saksi.
"Dari keterangan 10 saksi dan bukti yang ada, dari Irsus menetapkan bahwa Irjen FS diduga melakukan pelanggaran terkait ketidakprofesioanalan dalam olah TKP," kata Dedi. [disway]