DEMOKRASI.CO.ID - 23 Juli 2001, pukul 20.48 WIB malam, publik disuguhi pemandangan yang tak biasa di pelataran Istana Merdeka, Jakarta.
Ya, tepat 21 tahun lalu, Presiden ke-4 RI, KH Abdurrahman Wahid yang karib disapa Gus Dur pergi meninggalkan Istana.
Presiden Gus Dur muncul dari pintu keluar Istana Merdeka hanya berbalut celana pendek dan kaos abu-abu polos melambaikan tangan ke arah lapangan timur Monas.
Gus Dur mengambil langkah besar dalam mempertahankan persatuan bangsa Indonesia. Ia mundur dari presiden demi memperjuangkan idealismenya: yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan.
Gus Dur memegang teguh idealismenya bahwa tidak ada jabatan yang perlu dipertahankan mati-matian.
Dilansir dari sebuat utas di akun Twitter Jaringan Gusdurian @GUSDURians, Senin (25/7/2022) diuraikan, Gus Dur mengambil sebuah keputusan yang membuat sebagian pendukungnya kecewa.
Banyak yaag berseru: “Gus, kenapa tidak melawan? Gus, kami siap mendukung mati-matian!”.
Gus Dur bertutur: “Biar sejarah yang akan membuktikan semuanya”.
“Forgive your enemies, but don’t forget their mistakes,” jawab Gus Dur.
Jaringan Gusdurian menyebut, sejarah mungkin mencatat bahwa pada masa itu Gus Dur dilengserkan. Namun prosesi yang cacat hukum sama sekali tidak layak disebut upaya pelengseran.
Gus Dur bahkan tidak berupaya mempertahankan jabatannya dengan segala cara.
Meski pun sebenarnya Gus Dur tidak perlu keluar istana dengan memakai celana pendek dan kaos abu polos untuk menenangkan pendukungnya.
Gus Dur bisa tetap menjadi presiden jika mau berkompromi.
“Kompromi bagaimana? Bagi-bagi jabatan! Para petinggi partai menuntut Gus Dur untuk membubarkan kabinet yang ada dan memberi kursi pada petinggi partai yang menentangnya. Hal itu disampaikan Mahfud MD setelah bertemu beberapa petinggi,” jelas Jaringan Gusdurian di Twitter.
Mendengar hal itu Gus Dur pun menggebrak meja. “Tidak bisa. demokrasi itu bukan pasar!” ucap Gus Dur dengan nada tinggi.
Gus Dur sangat marah dengan kenyataan bahwa partai-partai hanya mengincar jabatan.
Ada pula suara dari kelompok relijius yang berjanji mendukungnya. Syaratnya, Gus Dur harus jadikan ‘NKRI Bersyariah’.
Jika skenario ini dijalankan, Gus Dur akan aman. Tentu saja opsi-opsi di atas ditolak sepenuhnya.
“Beberapa bulan sebelumnya Gus Dur ditekan kanan kiri dengan kasus yang diada-ada seperti Buloggate dan Bruneigate yang tidak pernah terbukti, sebagaimana diputuskan oleh Kejaksaan Agung. Perseteruan dengan parpol dan elite Polri-TNI membuatnya semakin berada di posisi sulit,” urainya lebih lanjut.
Dari keputusan Gus Dur tersebut, secara tersirat telah mengajarkan anak bangsa dan generasi penerus tentang makna sebuah berjuang.
Perjuangan dengan idealisme, aktivisme nir-kekerasan. Gus Dur tidak menjelaskan apa manfaat perjuangan itu, tapi untuk tegaknya nilai-nilai kebenaran.
Warga Nahdlatul Ulama (NU) bahkan berpendapat bahwa Gus Dur telah mengajarkan bahwa perjuangan itu pahit dan getir, tapi jiwa kita bisa bahagia menerimanya.
“Gus Dur menempa kami anak-anak muda NU menjadi pribadi yang harus kuat. Kuat dalam berjuang tanpa mengeluh dan bertanya kapan perjuangan itu berakhir,” ungkap akun Twitter @NU_bersatu.
Gus Dur mengajarkan generasi penerus NU akan makna kesetiaan pada nilai, bukan pada hasil perjuangan, apalagi sekadar materi.
Mungkin kita tidak sempat merasakan buah perjuangan itu, tetapi kita cukup bahagia ada banyak orang merasakannya. Lahu Alfatihah! (dra/fajar)