DEMOKRASI.CO.ID - Kader Nahdlatul Ulama (NU) Ayang Utriza Yakin meminta Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf untuk menonaktifkan Mardani Maming dari jabatannya sebagai Bendahara Umum.
"Ketua Umum PBNU Gus Yahya wajib menonaktifkan Bendum Mardani Maming karena kasus rasuah saat jadi Bupati," tegas Ayang Utriza dikutip Populis.id dari akun Twitternya, Selasa (26/7/2022).
Menurut dia, jika Mardani Maming tidak dinonaktifkan maka marwah NU sebagai Ormas Islam dengan 90 juta pengikut dan ratusan ribu ulama akan rusak.
"Jangan sampai akibat politisi PDI Perjuangan di PBNU ini, marwah NU rusak," ungkapnya.
Seperti diketahui bahwa Mardani Maming belum dinonaktifkan dari jabatan Bendum PBNU menyusul statusnya sebagai tersangka terkait kasus suap izin pertambangan saat dirinya menjadi Bupati di Kalimantan Selatan.
Bukannya menonaktifkan, PBNU justru memberikan bantuan hukum kepada politisi PDI Perjuangan itu. Sederet pengacara tenar dikerahkan untuk membela Maming, seperti eks Komisioner KPK Bambang Widjojanto.
Sebelumnya Mardani Maming resmi menjadi buron setelah masuk daftar pencarian orang (DPO) lantaran kabur saat dijemput paksa KPK di Apartemennya, kemarin.
"KPK telah memanggil Tersangka MM (Mardani H Maming) sebanyak dua kali, namun tidak hadir sehingga kami menilai Tersangka dalam perkara ini tidak kooperatif," ucap Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri kepada wartawan, Selasa (26/7/2022).
"Hari ini KPK memasukkan tersangka ini dalam daftar pencarian orang (DPO) dan, paralel dengan itu, KPK juga berkirim surat ke Bareskrim Polri untuk meminta bantuan penangkapan terhadap tersangka dimaksud," sambungnya.
KPK gagal menjemput paksa Mardani Maming sebagai tersangka penerima suap terkait Peralihan Izin Usaha Pertambangan dari PT Bangun Karya Pratama Lestari ke PT Prolindo Cipta Nusantara di Kabupaten Tanah Bumbu.
“Dari kegiatan penggeledahan di salah satu apartemen di Jakarta hari ini, (25/7) info yang kami terima, tim KPK belum menemukan tersangka di tempat dimaksud,” kata Plt juru bicara KPK, Ali Fikri, dalam keterangan tertulisnya, kemarin. [populis]