DEMOKRASI.CO.ID - Wakil Ketua Umum Partai Garuda Teddy Gusnaidi menilai terkait pasal Menghina Presiden yang berisi ancaman penjara di RKUHP, seharusnya tidak menjadi polemik.
“Karena yang namanya menghina tidak dapat dibenarkan baik secara ajaran agama maupun adab dimasyarakat. Kenapa hal negatif ini dianggap hal positif, sehingga tidak boleh dilarang jika ada yang melakukan penghinaan?,” kata Teddy dalam keterangan persnya, Jumat.
Kalau yang dilarang dalam RKUHP itu adalah mengkritik dan mengeluarkan pendapat, maka perlu ditentang, karena bertentangan dengan demokrasi dan UUD 45, kata Teddy lagi.
“Karena negara Demokrasi itu bukanlah negara barbar, karena demokrasi itu bukan bebas sebebas-bebasnya. Kritik dan menghina itu 2 hal yang berbeda,” terangnya.
Ia menambahkan kalau mempermasalahkan kata dalam draft RKUHP bahwa kata ini sebaiknya dihapus karena bisa menjadi multitafsir misalnya, itu wajar, tapi kalau menghapus pasal penghinaan, tentu itu kurang ajar.
“Karena membiarkan warga negara menjadi barbar, membolehkan melanggar norma, adab dan ajaran agama,” pungkasnya.
“Jika ada yang beralasan, kan yang dihina lembaganya, bukan orang secara personal. Kalau begitu, apakah orang boleh juga menghina agama? Organisasi? Suku, budaya dan sebagainya? Kan yang dihina bukan orang secara personal, tapi sesuatu yang berkaitan dengan orang tersebut. Saya yakin tidak akan ada yang setuju,” tuturnya.
Maka dari itu, yang namanya menyerang kehormatan atau harkat dan martabat siapapun tentu tidak dibenarkan, termasuk terhadap Presiden. Ini hal yang normal yang dibuat seolah-olah tidak normal karena punya tujuan-tujuan tertentu.(wartaekonomi/fajar)