DEMOKRASI.CO.ID - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan inkonstitusional Pasal 87 huruf a UU 7/2020 tentang Mahkamah Konstitusi dianggap tepat oleh pakar hukum tata negara Feri Amsari.
Pasalnya, Feri melihat aturan tentang jabatan Ketua MK dan Wakil Ketua MK tersebut telah melanggar UUD 1945, mengingat dari segi proses pembuatan dan penerapannya melanggar asas peraturan perundang-undangan.
Menurut Feri, Pasal 87 huruf a yang termaktub di dalam UU 7/2020 yang merupakan perubahan kedua UU 24/2003 telah mengabaikan prinsip penentuan jabatan Ketua MK dan Wakil Ketua MK yang seharusnya dilakukan secara musyawarah mufakat di antara 9 Hakim Konstitusi.
"Pasal 87 huruf a ini yang berkaitan perpanjangan otomatis jabatan ketua dan wakil ketua MK, ini memang janggal," ujar Feri saat dihubungi Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (23/6).
Karena keberadaan Pasal 87 huruf a tersebut, Feri juga menilai pembuat undang undang dalam hal ini DPR RI dan pemerintah, telah abai dalam prinsip penentuan jabatan ketua MK dan wakil ketua MK, dan sekaligus seolah-olah memberikan akses lebih kepada orang-orang tertentu.
"Kenapa pembuat UU memberi bonus perpanjangan masa jabatan kepada ketua dan wakil ketua secara otomatis, padahal gagasannya ketua dan wakil ketua dipilih oleh para anggota seriap dua setengah tahun sekali," tuturnya.
Maka dari itu, Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (Pusako) ini menganggap wajar apabila akhirnya Pasal 87 huruf a UU 7/2020 ini dinyatakan inkonstitusional oleh MK.
"Oleh karena itu di titik tertentu membatalkan pasal perpanjangan otomatis ketua dan wakil ketua menarik dan konstitusional," demikian Feri.
Putusan Hakim Konstitusi dalam Perakra Nomor 96/PUU-XVIII/2020 yang dimohonkan Priyanto, seorang warga Muara Karang, Pluit, Jakarta Utara menguji Pasal 87 huruf a dan huruf b UU 7/2020 tentang MK.
Pasal 87 huruf a UU MK berbunyi, "Hakim Konstitusi yang saat ini menjabat sebagai Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi tetap menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi sampai dengan masa jabatannya berakhir berdasarkan ketentuan undang-undang ini."
Sementara Pasal 87 huruf b berbunyi, "Hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat Undang Undang ini diundangkan dianggap memenuhi syarat menurut Undang Undang ini dan mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (lima belas) tahun".
Dalam putusannya, MK menerima sebagian permohonan Priyanto, dengan menyatakan Pasal 87 huruf a UU MK inkonstitusional. Sementara Pasal 87 huruf b UU MK konstitusional.
Namun berdasarkan penelusuran redaksi, Anwar Usman menjabat sebagai Ketua MK ketika UU 8/2011 tentang MK belum diubah menjadi UU 7/2020. Dimana menurut aturan di dalam peraturan perundang-undangan kala itu masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK hanya 2 tahun 6 bulan.
Anwar Usman sendiri menjabat sebagai Ketua MK terhitung sejak 2 April 2018, dan seharusnya menanggalkan jabatannya pada 2 Oktober 2020.
Namun karena UU 7/2020 tentang Perubahan ketiga atas UU 24 tahun 2003 tentang MK disahkan Jokowi pada tanggal 28 September 2020, maka jabatan Ketua MK masih melekat kepada Anwar Usman, dan masa bakti sebagai Hakim Konstitusinya menjadi berakhir pada 6 April 2026. [rmol]