DEMOKRASI.CO.ID - Sanksi Amerika Serikat (AS) terhadap Rusia gara-gara serangan militer ke Ukraina, membuat pertukaran mata uang Rusia dengan mata uang China meroket. Demi menghindari dampak sanksi AS, Rusia memaksa mitra-mitra dagangnya tidak bertransaksi menggunakan dolar AS.
Untuk membayar berbagai komoditas impor, negara-negara mitra dagang Rusia diminta menggunakan mata uang rubel. Pada sisi lain, pertukaran mata uang itu dengan mata uang negara sekutu Rusia seperti China, melonjak pesat.
Mengutip Bloomberg, pertukaran rubel dengan yuan dalam tiga bulan terakhir melonjak lebih dari 1.000 persen, yakni menjadi setara USD 4 miliar.
Pada Mei 2022 misalnya, diperkirakan pertukaran rubel-yuan mencapai 25,91 miliar yuan atau setara USD 3,9 miliar. Pertukaran yang terjadi di pasar spot Moskow secara bulanan itu, melonjak 12 kali lipat dibandingkan Februari 2022, saat Rusia pertama kali menyerang Ukraina.
Seiring dengan itu, pertukaran dolar-rubel turun ke level terendah dalam 10 tahun terakhir. Akibatnya rubel menguat 118 persen terhadap dolar AS, terhitung sejak Maret 2022 hingga Mei 2022.
“Pemain utama di pasar transaksi yuan-rubel adalah perusahaan dan bank, tetapi ada juga minat yang tumbuh dari investor ritel,” kata pengamat pasar uang di bank Rusia, Sberbank CIB, Yuri Popov, dikutip Sabtu (11/6).
“Volume transaksi rubel-yuan di pasar spot bursa Moskow telah melonjak. Ini karena kekhawatiran sanksi, serta niat Rusia dan China untuk mendorong penggunaan mata uang nasional dalam perdagangan bilateral,” tambahnya.
Eksodus massal merek-merek internasional asal AS dan negara Barat, membuat bisnis Rusia beralih ke barang-barang produk China. Ketegangan antara China dan AS terkait masalah Taiwan, juga mendorong peningkatan penggunaan yuan di pasar global. [kumparan]