DEMOKRASI.CO.ID - Pengamat militer asal Cina Luo Yongkun memprediksi Indonesia akan menjadi negara besar, dan mampu menyaingi China dan negara besar lainnya. Sebab, Indonesia memiliki modal yang sama dengan China untuk menjadi negara maju.
Prediksi Luo Yongkun ini beralasan, karena menurut dia Indonesia memiliki potensi besar yang didukung oleh limpahan Sumber Daya Alam (SDM) dan Sumber Daya Manusia (SDM).
Pengamat Militer Indonesia Khairul Fahmi mengamini optimisme bangsa Indonesia menjadi negara maju sesuai dengan prediksi Luo Yongkun.
Menurut Khairul Fahmi, potensi Indonesia sangat besar karena memili lokasi yang strategis dan punya limpahan SDA dan SDM. Bahkan, sejak era Presiden Soekarno dan Soeharto Indonesia sudah diperhitungkan oleh negara-negara barat, khususnya negara adidaya Amerika Serikat.
“Potensi menjadi negara besar itu ada jelas, karena kita punya lokasi strategis, kita punya kekuatan SDA, kita punya potensi SDM yang luar biasa. Masalahnya, bukan Indonesia tidak diperhitungkan didalam konteks global, karena di jaman Soekarno, Soeharto kita diperhitungkan tapi dalam kondisi sekarang saat reformasi agak sedikit surut ya,” kata Khairul Fahmi saat dihubungi di Jakarta, Selasa (21/6).
Dikatakan Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) itu, Indonesia saat ini masih terfokus pada program domestik, dan keuangan negara masih di bawah hingga langkah menjadikan Indonesia negara besar sedikit terhambat. Selain itu, potensi SDA dan SDM Indonesia belum dimaksimalkan sebagai nilai tawar ke negara-negara besar di dunia.
“Kita terlalu berfokus pada program domestik, dan yang paling jelas itu adalah kita kekurangan uang. Artinya, kita ini punya kekayaan tetapi modal yang menjadi masalah, hingga kita butuh duit untuk mengelolanya. Kita melihat potensi yang dimiliki tadi SDA-SDM itu akhirnya jadi komuditas dan bukan menjadi alat tawar, kita sibuk jualan bukan sibuk menjadikan ini sebagai bargaining, padahal kita dibutuhkan,” ucapnya.
“Kalau mau jadi negara besar berarti kita harus benar-benar serius meningkatkan posisi tawar kita dulu, salah satu posisi tawar kita adalah melihat kapabilitas pertahanan. Artinya pertahanan kita kuat, kedua diplomasi ekonomi,” ucapnya.
Lebih jauh Khairul Fahmi, kemandirian dibidang pertahanan juga menjadi tolak ukur satu bangsa menjadi besar, dan hal itu belum sepenuhnya dimiliki oleh Indonesia. Padahal, Indonesia memiliki semua kebutuhan pertahanan, termasuk pada Alutsista. Indonesia, lanjut Khairul Fahmi harus belajar dari negara Singapura yang kini menjadi salah satu negara yang diperhitungkan negara-negara barat, padahal Singapura adalah negara kecil dan SDA-nya jauh di bawah Indonesia.
“Kemandirian Pertahanan itu yang harus dilakukan, karena ini bukan untuk perang tetapi buat kekuatan kita dalam bersuara. Kalau kita gak punya kemampuan ini maka akan susah, padahal kita punya potensi menjadi negara besar. Kita lihat contoh aja seperti Singapura, negara kecil bila dibandingkan dengan Indonesia tapi kenapa mereka menjadi negara yang diperhitungkan, karena mereka bisa mengelola apa yang dimiliki dan potensi-potensi mereka itu dimaksimalkan menjadi kekuatan dan posisi tawar,” jelasnya.
Olehnya itu, Indonesia ke depan mampu memenuhi kebutuhan pertahanan sendiri tanpa harus mengimpor dari negara luar, meski langkah impor kebutuhan pertahanan tidak dilarang. Menurut Khairul Fahmi, industri hulu harus diperhatikan agar kemandirian pertahanan Indonesia bisa terlaksana di masa mendatang.
“Kita harus bisa memenuhi kebutuhan pertahanan kita dari dalam negeri sendiri, salah satunya adalah industri Alutsista ya. Selama kita belum punya hulunya itu akan sulit untuk mandiri, hulunya terkait dengan industri logam atau disebut dengan industri logam jarang dan kita belum miliki industri itu meski potensinya besar di Indonesia,” ungkapnya.
“Intinya kita sudah punya potensi menjadi negara besar, tapi kita butuh disiplin dengan rodmap, kita juga harus lebih jelas dalam bersikap. Kan negara-negara besar itu bukan seperti Cina atau Amerika, artinya kita bisa lihat bagaimana Bung Karno lantang bersuara membangun kekuatan baru, kita perlu menunjukan sikap yang jelas, bukan berarti kita berpihak ke Amerika atau Cina tapi ketika kita berada di tengah maka kita bebas aktif, non blok,” jelasnya juga.
“Bagaimana kita membuat suara kita didengar oleh Cina, di dengar oleh Amerika dan kalau kita gak bisa melakukan itu maka kita akan terus tunduk kepada negara-negara besar itu dan potensi besar itu akan digarap oleh pihak luar,” tutup Khairul Fahmi. [rmol]