DEMOKRASI.CO.ID - Presiden Asosiasi Ahli Pidana Indonesai (AAPI) Dr Muhammad Taufiq angkat bicara terkait penemuan senjata dan amunisi di sebuah rumah di Jalan Asia Afrika Bandung.
Menurutnya, penemuan ini seolah dianggap hal biasa, tetapi bagian lain orang bawa golok aja ditangkap dengan tuduhan makar. Bahkan bukan hanya itu, bawa bendera tauhid “Laailaha Ilallah” pun khilafaul muslimin itu dianggap makar, ditangkap, diturunkan.
“Saya hanya ingin bertanya, setahu saya sebagai ahli pidana di Indonesai itu masih memberlakukan UU No 12/1951, Undang-Undang Darurat tentang kepemilikan senjatan api ilegal. Itu ancamannya tidak main-main. Pertaman hukuman mati, penjara seumur hidup dan kurungan penjara 20 tahun,” kata Muhammad Taufiq dalam Channel Youtube Muhammad Taufiq & Partner Law Firm.
Taufiq juga mempertanyakan, kalau BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) menganggap hal itu sebuah peristiwa biasa dan tidak berusaha mengusutnya, ini menjadi masalah besar. Pasalnya, satu-satunya institusi yang bisa melakukan penangkapan terhadap perkara-perkara terorisme itu adalah kepolisian.
“Kalau kepolisina membuat standar ganda hanya kepada orang-orang muslim disematkan terorisme, sementara yang lain tidak. Dan saya pikir ini sudah yang kesekian kalinya. Dulu bom Alam Sutera yang ditempatkan di mini market juga tidak dianggap sebagai terorisme.,” ujarnya.
Menurut Taufiq sebenarnya sederhana saja, pidana itu pada perilaku, kemudian dideskripsi menjadi rumusan pasal. Artinya, siapa yang berperilaku sesuai dengan rumusan pasal, orang itu dianggap melakukan kejahatan sesuai pasal itu. Maka sebutannya barang siapa. Barang siapa itu mengarah kepada orang.
“Makanya menjadi sebuah pertanyaan ketika isu terorisme itu hanya dibombardir kepada kalangan Islam, kelompok-kelompok yang berseberangan dengan pemerintahan, kelompok-kelompok oposisi, kelompok kritis. Sementara mereka yang mendukung rezim ini, seperti menyimpan senjata AK-47, menyimpan amunisi kaliber besar, punya detonator, satu dus itu bukan satu biji itu, tetapi tidak ada narasi terorisme dalam peristiwa ini,” ungkapnya.
Sebagai ahli pidana Taufiq menginginkan perlakuan yang sama. Menurutynya, rumah kontrakan itu harus dibongkar (digeledah). Dulunya dimiliki siapa, sekarang dimiliki siapa, dan untuk apa senjata itu.
Taufiq mempertanyakan, kalau alasan kepolisian untuk pertambangan, lalu AK-47 buat siapa? Buat yang ganggu pertambangan? Buat yang mendemo? Buatlah argumentasi hukum yang wajar.
“Kalau dengan pemahaman UU 12/1951 atau UU Terorisme ya sudah, orang-orang itu mestinya ditangkap, dibeberkan di media massa, mereka juga diborgol tangannya, dan ditunjukkan ke masyarkat, ini lho pelakunya,” paparnya.
Kalau sepeti (sekarang) ini perilakunya, katanya, masyarakat ini tetap menganggap negara ini memusuhi umat Islam, dan polisi hanya menjadi alat kekuasaan.
Supaya sinyalemen itu tidak terbukti, supaya tuduhan itu diaggap tidak benar, menurut Taufiq, orang ini dibawa ke persidangan ditunjukkan ke muka masyarakat.
“Jangan mengatakan tidak ada niat. Niat itu yang ngukur pengadilan. Kalau polisi bisa mangatakan tidak ada niat, nggak perlu ada orang ke penjara. Semua sesuai dengan pemahaman polisi, oo.. ini ada niat, ini tidak ada niat. Bukan begitu. Kenapa pengadilan itu disebut benteng terakhir keadilan, karena disitulah tempat orang mengerti. Orang itu salah atau tidak. Disitulah bisa dinilai dia punya niat jahat atau tidak,”tegasnya.
Didalam peristiwa rumah Djie Kian Han yang ditemukan senjata dan amunisi sekian banyaknya, Taufiq berkeinginan perkara ini dilanjutkan. Dia minta kepada masyarakat untuk berisik (kritis). Karena negara ini tidak sedang baik-baik saja.
“Bayangkan kalau ada orang asing ngontrak rumah, dan tiba-tiba disitu banyak orang asing, tahu-tahu banyak ratusan senjata apa yang bisa kita perbuat. Tetaplah bersikap kritis, karena negara ini tidak sedang baik-baik saja. Tetaplah menjadi warga negara yang baik. Warga negara yang baik adalah yang bersikap kritis kepada penguasanya,” ujar Taufiq. [zonasatu]