DEMOKRASI.CO.ID - OLEH: YULIAN GUNHAR*
ALAM demokrasi yang sedang kita nikmati di era reformasi ini, telah memberikan kondisi ironis di dalam perjalanannya. Di satu sisi, pasca Orde Baru, negeri ini disebut-sebut menjadi salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Di sisi lain, demokrasi yang sedang berjalan, ternyata mengalami masalah serius yang mengancam masa depan kita sebagai bangsa, yaitu cengkeraman oligarki yang terasa makin kuat.
Memang oligarki yang menyusup ke dalam relung-relung sistem demokrasi amat sulit dihindari, namun kondisi yang terjadi saat ini sudah sangat mengkhawatirkan. Bau amis jejak-jejak permainan mereka sudah sangat kentara di berbagai sektor. Hampir semua sektor kehidupan seperti ekonomi, politik, hukum, dan sebagainya, sudah berada dalam cengkeraman mereka.
Oligarki adalah sebuah struktur pemerintahan di mana kekuasaan berpusat hanya pada sekelompok kecil orang. Golongan ini mengendalikan kekuasaan sesuai dengan kepentingan mereka sendiri.
Istilah ini sudah ada sejak era Yunani Kuno. Menurut Aristoteles, oligarki merupakan manifestasi pemerintahan yang buruk. Akibat sifatnya yang elitis dan eksklusif, terlebih lagi biasanya beranggotakan kaum kaya, sehingga oligarki tidak memperhatikan kebutuhan rakyat secara luas.
Prinsip oligarki dan demokrasi akan selalu bertentangan. Pertentangan ini terjadi utamanya pada dua pertanyaan: “Siapa yang berkuasa?” dan “Siapa yang memperoleh manfaat dari kekuasaan itu?”.
Dalam sistem oligarki, kekuasaan untuk memerintah diletakkan di tangan-tangan sebuah kelompok kecil dan keuntungan tersebut dimanfaatkan oleh mereka saja.
Sedangkan hubungan antara oligarki dengan kapitalis (kaum pemodal) bisa sangat erat. Lantaran basis kekuatan oligarki terletak pada konsentrasi uang atau kekayaan material. Berbeda dengan sistem demokrasi yang bertujuan menciptakan kesetaraan dan kekuasaan bagi semua pihak, bukan segelintir orang saja.
Maka wajar jika Jeffrey Winters, menyatakan bahwa praktik oligarki akan membuat demokrasi makin jauh dari cita-cita untuk memakmurkan rakyat. Karena kekuasaan hanya bekerja untuk mengakumulasi kekayaan kaum oligarki. Kondisi demikian, berakibat jurang antara si kaya dan si miskin makin besar.
Operasi Mindset
Akumulasi modal dan kuasa membuat kekuasaan kaum oligarki-kapitalis, akan sangat besar sekali. Dengan kekuatan modalnya mereka pun bisa mengendalikan opini publik, agar sesuai dengan agenda dan kepentingan mereka.
Salah satunya melakukan mindset operation (operasi mindset) dengan penggiringan opini publik. Membuat rakyat dipaksa berpikir sesuai perspektif dan kepentingan mereka.
Mereka tak peduli jika harus merusak sendi-sendi etika berbangsa, bahkan konstitusi. Seperti munculnya usulan 3 periode masa jabatan presiden. Juga hal aneh, ketika presiden dan para menterinya sudah mulai saling dukung dalam konteks Pilpres 2024. Padahal usia kekuasaan presiden belum berakhir.
Hal ini tentu melanggar sumpah jabatan, dan tidak sesuai dengan konstitusi. Bahkan bisa dianggap mencuri start kampanye. Ketika waktu 20 bulan menjelang pemilu saja belum tercapai, para menteri sudah sibuk membangun kekuatan menuju Pilpres 2024.
Pertanyaannya, bagaimana hasil kinerja mereka nantinya jika tidak fokus bekerja sebagai pembantu Presiden?
Demi memelihara agenda dan kepentingan, para oligarki-kapitalis tentu saja akan berupaya terus mencengkram kekuasaan. Salah satunya dengan menciptakan capres yang sesuai dengan kepentingan mereka di 2024. Capres yang menjadi ‘boneka’ untuk dikendalikan. Agar jika berkuasa nanti, mau mendukung kepentingan oligarki dalam mengeruk sumber kekayaan di negeri ini.
Apalagi tidak sulit bagi mereka melakukan operasi mindset, di tengah kondisi masyarakat saat ini yang tengah pasif dan tak peduli terhadap berbagai perubahan yang terjadi di sekelilingnya.
Demi memuluskan jalan tokoh yang layak digadang sebagai capres di 2024, kaum oligarki-kapitalis bisa saja menggunakan beberapa instrument, seperti lembaga survei, media, dan buzzer, untuk membombardir pikiran publik, seakan yang disampaikan sebuah kebenaran yang harus dipercaya. Karena di dalam operasi mindset, yang diserang adalah pikirannya, bukan lagi berbentuk ancaman fisik.
Pertama, lembaga survei. Di negara-negara demokrasi, kehadiran lembaga survei bisa menjadi alat merekam opini publik yang efektif. Namun sebagai sebuah instrumen ilmiah, survei terkadang tidak bebas kepentingan. Apalagi jika antara pollster dan konsultan politik sudah menyatu, seperti halnya yang terjadi di Indonesia.
Kerja operasi mindset melalui lembaga survei belakangan ini sudah terlihat, ketika berbagai lembaga survei 'berlomba' mengeluarkan temuan terkait kandidat capres di 2024.
Terhadap lembaga survei, kita seharusnya bisa menuntut data yang mampu dipertanggungjawabkan, dari sisi transparansi, dan dari mana dana pelaksanaan survei yang tidak murah itu. Serta apa pula maksud dan tujuan dilakukan survei, ketika Pemilu 2024 masih relatif lama?
Hasil survei terkait Pilpres 2024 yang ramai dirilis belakangan ini, bisa dikatakan masih sangat prematur. Maka jangan heran jika banyak orang menduga ada unsur politis di balik hasil-hasil survei tersebut, sebagai upaya penggiringan opini, agar terekam di mindset publik bahwa hanya tokoh-tokoh tertentu saja yang layak maju sebagai capres di 2024, berbekal popularitas dan elektabilitas yang bisa saja diciptakan.
Kedua, framing media. Di negara demokrasi, kehadiran media dianggap sebagai pilar yang keempat, setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Mereka diharapkan menjadi anjing penjaga (watch dog), yang mengawasi jalan kekuasaan agar tidak menyimpang.
Sayangnya, di era industri informasi ini adakalanya media terjebak sebagai entitas bisnis semata. Apalagi jika kepemilikan media sudah berkelindan dengan para oligarki-kapitalis yang mengendalikan kekuasaan.
Dengan penguasaan terhadap media, membuat para oligarki dengan leluasa membentuk framing mengenai siapa saja yang layak dan tidak layak menjadi pemimpin negeri ini. Ada tokoh yang minim prestasi, namun diframing sedemikian rupa seakan berprestasi dan layak memimpin negeri.
Oligarki tidak memerlukan informasi yang benar-atau tidak, selama bisa membanjiri mindset publik untuk menerima narasi ciptaan mereka. Publik sebagai penerima informasi dari media pun menjadi sulit membedakan, mana info benar dan mana info bermuatan penggiringan opini.
Kondisi itu persis dengan apa yang pernah dikatakan pakar komunikasi, Bill Kovach, yang menyebut kondisi saat ini sebagai era banjir informasi. Ia mengatakan bahwa di era banjir informasi ini, sangat sulit untuk membedakan mana informasi yang benar dan salah. Bahwa semua bercampur baur tidak jelas, menjadi blur.
Ketiga, menggunakan jasa buzzer politik. Saat ini keberadaan sosial media perlahan mampu menggeser media mainstream sebagai sumber informasi. Hal itu sangat positif. Mengingat partisipasi publik dalam mengekspresikan segala opininya terbuka lebar melalui kanal media sosial, seperti Twitter, Facebook, Instagram, YouTube, dan lain-lain.
Namun adakalanya opini yang terekam di media sosial sudah tidak benar-benar murni, lantaran tercemar penggiringan opini dari kalangan buzzer politik yang sarat kepentingan. Tidak bisa dibantah bahwa belakangan ini opini publik sehari-hari sering disetir oleh buzzer bersama akun-akun robot (bot).
Sehingga opini netizen yang ada di dunia maya seolah nyata, padahal bisa jadi berasal dari penggiringan dari para buzzer.
Banyaknya pengguna media sosial di Indonesia. Ditambah makin eksisnya peran buzzer dalam perhelatan politik, maka keberadaan buzzer tentu bisa menjadi alat kalangan oligarki melakukan operasi mindset.
Termasuk soal siapa capres yang layak dan tidak layak dipilih. Para buzzer bayaran siap menjadi pasukan media sosial yang membela segala segala wacana atau isu yang berkaitan dengan kepentingan oligarki.
Dengan melihat berbagai realita kalangan oligarki yang sudah makin terlihat jelas jejaknya itu, maka sebagai bangsa, kita harus mulai menyadarinya. Bahwa era reformasi yang hampir berjalan seperempat abad ini, masih menyisakan banyak pekerjaan rumah.
Salah satunya memastikan negeri ini tidak dicengram oleh oligarki, serta kepemimpinan nasional kita di 2024 nantinya, bukan capres hasil operasi mindset dari oligarki.
Publik harus lebih cerdas, melihat latar belakang, kapasitas, dan prestasi para capres yang akan berlaga di pilpres 2024. Jika yang tampil dan terpilih adalah sosok-sosok capres dengan hanya modal pencitraan dan dari hasil manipulasi oligarki-kapitalis melalui lembaga survei berbayar, framing media, buzzer bayaran, maka apa yang bisa diharapkan bagi masa depan bangsa ini?
Padahal calon pemimpin bangsa yang besar ini harus memenuhi unsur terpenting, seperti berkarakter, berkompeten, berkapasitas dan visioner.
*Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi PDI Perjuangan