Oleh: KH Imam Jazuli Lc MA*
PANCASILA sebagai ideologi berbangsa dan bernegara terus-menerus mendapat tantangan. Kali ini datang dari tim marketing manajemen Holywings, yang menggratiskan minuman beralkohol bagi siapapun yang memiliki nama "Muhammad" dan "Maria".
Pihak Holywings sudah melakukan klarifikasi, dengan menyebut iklan promosi tersebut tidak diniatkan untuk SARA maupun memancing keributan publik. Sementara pihak Kepolisian sudah menangkap enam orang tersangka. Proses hukum terus bergulir.
Masalah utamanya bukan semata-mata adanya penistaan agama, kemudian proses hukum berjalan. Lebih dari itu, dalam usia kebangsaan yang hampir satu abad, sikap saling menghormati, saling menjaga perasaan satu sama lain, belum sepenuhnya mendarah daging.
Sementara penduduk Indonesia sudah mencapai 270 juta, dengan 17.000 pulau, 1.340 etnis, serta 6 agama resmi. Ada kekayaan kultural yang tidak terhingga. Ada keragaman dalam berbagai dimensi kehidupan. Tanpa tepo seliro atau tenggang rasa yang tinggi, maka anugerah yang begitu besar ini akan tersia-siakan.
Tindakan tim marketing Holywings bukan saja penistaan agama, lebih dari itu adalah bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai kebangsaan. Karena tindakan Holywings telah jauh dari nilai tenggang rasa, mengingat bangsa Indonesia mayoritas adalah makhluk religius, yang menjadikan ajaran agama sebagai inti dalam nilai hidup mereka.
Tindakan GP Ansor dan Banser yang mengkritik perbuatan tim Holywings sangat tepat. Aparat Kepolisian pun bergerak cepat. Karena apa yang dilakukan oleh Holywings bukan sekadar penistaan agama, tetapi juga telah melukai perasaan publik. Perasaan publik yang religius ini disakiti oleh promosi alkohol gratis bagi yang bernama "Muhammad" dan "Maria"; dua figur suci dalam Islam.
Pandangan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cholil Nafis, ada benarnya. Hukuman yang perlu dijatuhkan kepada Holywings bukan hukuman ringan. Tetapi berupa pencabutan izin usahanya. Sebagai pelajaran bagi dunia usaha lain yang serupa bahwa penistaan agama dan melukai perasaan publik adalah ancaman terhadap keamanan dan ketertiban kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hal itu terbukti. Ancaman publik terdengar nyaring di media sosial. Sekiranya aparatur negara dan penegak hukum di negeri ini mandul di hadapan pengusaha/pemilik modal, seperti pemilik Holywings, maka hukum jalanan akan berlaku. Artinya, publik diresahkan oleh tindakan radikal manajemen Holywings, yang menggratiskan alkohol bagi yang memakai nama "Muhammad" dan "Maria".
Semestinya, kesadaran untuk menghargai orang lain demi menjaga ketertiban dan keamanan sosial sudah mendarah daging. Bukan hanya bagi Holywings, siapapun mestinya menjaga perasaan orang lain. Karena inilah budaya timur, yang disebut tenggang rasa.
Ironisnya, tenggang rasa untuk saling menjaga perasaan orang lain ini ditukar dengan kepentingan kapitalis, yaitu menarik perhatian publik, mengundang costumer dengan layanan minum gratis, agar mau datang ke tempat mereka. Tenggang rasa sebagai nilai tertinggi kehidupan diperjualbelikan. Ditukar dengan harapan agar jualannya laris-manis.
Tatkala tenggang rasa sudah hilang, maka karakter sebagai manusia beradab pun juga sudah hilang. Ini yang terjadi pada dan dilakukan oleh Holywings. Karenanya, tuntutan terhadap pihak Holywings adalah meminta maaf secara langsung kepada publik, bukan sebatas postingan status di akun media sosialnya.
Tuntutan GP Ansor dan Banser agar pihak Holywings meminta maaf secara terbuka bertujuan untuk mengajari pihak Holywings tentang etika publik. Sebab, dengan hadirnya dunia maya, pelaku bisa saja bersembunyi, tidak menunjukkan penyesalan yang serius, bahkan bisa direkayasa. Apalagi Holywings sudah melakukan kesalahan berkali-kali.
Alhasil, bukan hanya GP Ansor, tetapi semua pihak yang mengutuk perbuatan Holywings patut diapresiasi. Di masa-masa krisis moral seperti hari ini, mengajak publik ke jalan yang berbudi pekerti luhur sangatlah penting. Terutama menghargai keragaman, perasaan, dan keyakinan setiap orang. Wallahu a'lam bis shawab.
*) Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.