DEMOKRASI.CO.ID - Wakil Ketua Umum Partai Gelora, Fahri Hamzah mengingatkan partai politik (parpol) di Indonesia untuk jangan mengambil inspirasi dari partai politik di negara komunis.
Menurutnya, partai politik di negara komunis menjadikan semua kadernya sebagai perkakas untuk menguasai negara.
Di negara komunis, kata Fahri Hamzah, kader juga dibuat tunduk kepada partai politik yang mengatur negara dari belakang.
Hal ini dikatakan Fahri Hamzah saat merespons soal M Taufik yang dipecat oleh Majelis Kehormatan Partai (MKP) Gerindra sebagai kader, setelah sebelumnya dicopot dari jabatan sebagai Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) Jakarta.
“Orang yang sudah dipilih oleh rakyat menjadi wakil rakyat tidak bisa dipecat oleh partai politik!” kata Fahri Hamzah melalui akun Twitter @Fahrihamzah, sebagaimana dikutip HopsID pada Rabu, 8 Juni 2022.
Fahri Hamzah mengatakan bahwa jika memakai yurisprudensi yang ia menangkan saat melawan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), maka seharusnya M Taufik masih bisa menjadi anggota DPRD.
Sebagaimana diketahui, Fahri Hamzah juga pernah dipecat oleh partainya, yakni PKS ketika masih menjabat sebagai Wakil Ketua DPR pada tahun 2016.
Namun, Fahri Hamzah menggugat PKS di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan menang. Ia tetap dinyatakan sah sebagai anggota DPR dan Wakil Ketua DPR 2014-2019 dari PKS.
“Jika memakai yurisprudensi yang saya menangkan maka yang bersangkutan tetap bisa menjadi anggota dewan! Partai politik hanya mencalonkan, rakyat yang memilih! Inilah kedaulatan rakyat!” kata Fahri Hamzah.
Fahri Hamzah mengatakan bahwa di dalam negara demokrasi, pemecatan kader partai yang sedang menjadi pejabat publik tidak bisa otomatis menyebabkan kader tersebut berhenti dari jabatan publiknya.
“Sebab keanggotaan partai tak otomatis membuat seseorang menjadi pejabat publik seperti dalam kasus negara-negara komunis,” jelasnya.
Ia lalu menyinggung bahwa banyak orang-orang yang dicalonkan oleh parpol, tapi tidak dipilih rakyat dan tidak menjadi apa-apa.
Artinya, seseorang menjadi pejabat publik terpilih atau elected official karena suara rakyat.
Maka, lanjut Fahri Hamzah, pencopotan seorang pejabat terpilih hanya bisa melalui mekanisme hukum publik.
“Tidak bisa dengan AD/ART (red: Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga) partai,” katanya.
Di sisi lain, Fahri Hamzah menegaskan, hal ini bukan berarti bahwa sebuah parpol tidak boleh mengatur anggotanya melalui mekanisme etik.
Namun, mekanisme etik ini tidak bisa serta-merta menjadi dasar pencopotan seorang pejabat publik pilihan rakyat.
Menurutnya, harus ada mekanisme hukum publik, semisal vonis pidana korupsi dan sebagainya.
“Partai politik di Indonesia jangan mengambil inspirasi dari partai politik di negara komunis yang menjadikan semua kadernya sebagai perkakas partai politik untuk menguasai negara dan tunduk kepada partai politik yang mengatur Negara dari belakang. Ini negara demokrasi!” kata Fahri Hamzah.*** [hops]