DEMOKRASI.CO.ID - Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej diminta kembali membaca lebih dalam makna pasal penghinaan presiden yang belum dihapus dari RKUHP.
Menurut filsuf dan pengamat politik, Rocky Gerung, istilah "penghinaan" berkaitan dengan dignity atau martabat. Sedangkan martabat melekat pada individu, bukan pada lembaga.
“Enggak ada martabat pemerintah. Martabat itu melekat pada manusia, konkret. Jadi kalau disebut menghina itu artinya pada martabat orang. Pemerintah tidak punya martabat karena bukan lembaga yang mempunyai perasaan,” ucap Rocky dalam akun YouTubenya dengan tema Tolak RUU KUHP Hina Pemerintah Dipidana Kita Kembali ke Zaman Kolonial, Kamis (23/6).
Menurutnya, martabat itu merupakan prinsip hak asasi manusia dan itu wilayahnya individu, bukan lembaga atau pemerintah.
"Jadi bukan sekadar enggak boleh ada, itu salah tafsiran," sambungnya.
Di sisi lain, RKUHP yang memasukkan pasal penghinaan presiden akan mengekang kebebasan berpendapat.
“Di Amerika, presiden itu dihina tiap hari dan tidak merasa martabatnya terganggu. Jadi, ajaib juga kalau ada Presiden Amerika ke sini terus didemo mahasiswa, mahasiswanya ditangkap. Presiden AS bisa geleng-geleng kepala," tandasnya. [rmol]