DEMOKRASI.CO.ID - Di tengah gembar-gembor capres yang akan menggantikan Presiden Joko Widodo (Jokowi), ternyata masih banyak masyarakat Indonesia yang belum mengetahui kapan pesta demokrasi lima tahunan atau Pemilu 2024 mendatang akan dilaksanakan.
Hal ini berdasarkan survei yang dilakukan Indonesia Political Opinion (IPO) nasional pada Mei 2020.
Tercatat, sebanyak 43 persen calon pemilih belum mengetahui jadwal perhelatan Pemilu dan Pilpres yang akan dihelat pada 14 Februari 2024.
Jumlah tersebut, terbilang sangat besar sehingga ini menjadi pekerjaan rumah yang harus segera direspon pemerintah dan penyelenggara pemilu.
Meski demikian, lanjut Dedi, 74 persen responden setuju jika Pemilu dan Pilpres diselenggarakan pada 14 Februari 2024.
“Hanya 18 persen yang sangat tidak setuju, dan 8 persen yang tidak setuju,” terangnya, Minggu (5/6/2022).
Survei tersebut dilaksanakan pada 23-28 Mei 2022 dengan teknik wawancara penelitian hybrid secara tatap muka sebanyak 480 responden, dan sambungan telepon.
Berdasarkan hasil survei tersebut, sumber informasi politik publik lebih banyak dari media konvensional.
Televisi mendapat penilaian tertinggi sebagai media paling banyak dijadikan sumber informasi politik.
Sebesar 36 persen publik menggantungkan sumber informasi politik dari televisi, sementara surat kabar hanya dijadikan referensi oleh 7 persen publik.
Masyarakat yang masih menjadikan radio sebagai sumber informasi politik sebesar 11 persen, media sosial 23 persen, media pemberitaan online 13 persen, media luar ruang 2 persen, sementara 8 persen masih mengandalkan tokoh masyarakat sebagai sumber informasi.
Dedi menerangkan, kondisi itu membuktikan jika konsumen media konvensional masih cukup kuat, karena media sosial dan online yang selama ini terkesan menguasai informasi tidak juga mendapatkan persepsi dominan.
“Konsumen media massa masih cukup banyak, bahkan masih yang paling dipercaya. Tiga besar televsisi yang paling banyak dijadikan rujukan adalah Tv One, yakni sebesar 13.9 persen, di susul Metro Tv 7.7 persen, dan MNC TV 4.3 persen.” jelas Dedi.
Demikian halnya media cetak surat kabar, Dedi menuturkan bagi kelas sosial tertentu masih cukup diminati.
Media sosial dan online ia yakini berhasil memberikan informasi yang cepat dan banyak, tetapi untuk memastikan kebenaran informasi publik masih menggantungkan pada media massa.
“Media massa dalam catatan IPO masih cukup diminati, terutama soal kepastian kebenaran informasi yang disampaikan, sehingga ini memicu konsumen media untuk tetap bertahan pada publikasi-publikasi media massa yang ada, bahkan Radio sekalipun terbukti masih lebih unggul dari surat kabar,” terang Dedi.
Wawancara penelitian ini dilakukan hybrid secara tatap muka sebanyak 480 responden, dan sambungan telepon.
Data telepon merujuk data populasi sebanyak 196.420 yang dimiliki IPO sejak periode survei di tahun 2019 s.d 2021. Dari total populasi tersebut terdapat 7.200 yang memungkinkan untuk menjadi responden hingga terambil secara acak sejumlah 720 responden. Dengan demikian total keseluruhan sebanyak 1.200 responden.
Metode ini memiliki pengukuran kesalahan (margin of error) 2.90 persen, dengan tingkat akurasi data 95 persen.
Setting pengambilan sample menggunakan teknik multistage random sampling (MRS), atau pengambilan sample bertingkat.
Survei ini berhasil mengambil representasi sample yang tersebar proporsional dalam skala nasional.
Dengan teknik ini setiap anggota populasi (responden) miliki peluang setara untuk dipilih atau tidak menjadi responden. Untuk menguji validitas responden, IPO melakukan spot check pada 15 persen dari total populasi sample dan pengujian metode pra-research. [populis]