DEMOKRASI.CO.ID - Sudah larut malam sekitar pukul 01.00 WIB, tanggal 21 Mei 1998, Habibie masih mengikuti perkembangan gerakan massa melalui internet dan TV di ruang kerjanya, terkait desakan mundur pada Presiden Soeharto.
Sang istri tercinta, Ainun Habibie, mengingatkan agar Ia segera tidur. Habibie pun mengikuti saran istrinya. Ketika Ia berbaring di tempat tidur, masih terdengar obrolan beberapa anggota pasukan pengamanan yang duduk di bawah jendela kamarnya.
Walaupun hampir 20 jam belum beristirahat, ternyata pertanyaan dan pemikiran mengenai keadaan di tanah air saat itu terus mengganggu pikiran Habibie. Ia kemudian berdiri perlahan, karena tak ingin mengganggu ibu Ainun yang sedang tidur.
"Saya menutup bantal dan guling dengan selimut untuk memberi kesan seakan-akan saya berbaring di bawah selimut tersebut. Saya keluar ke tempat saya semula untuk menyusun catatan mengenai langkah-langkah awal dan dasar ataupun prinsip,
sikap, dan kebijakan yang harus saya ambil." tulis Habibie, dalam bukunya Detik-Detik yang Menentukan, Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi.
Habibie kemudian mencatat sejumlah kesimpulan yang akan Ia ambil, dimana itu akan menjadi sesuatu yang tak akan ia ceritakan pada siapapun. Kesimpulan penting yang ia ambil ketika itu adalah:
- Saya harus banyak mendengar dan tidak boleh terbuka menceritakan kepada siapa saja apa yang akan saya rencanakan dan lakukan. Termasuk kepada istri, anak,
adik, keluarga, kawan dekat, dan sebagainya saya harus tertutup. Ini adalah keputusan yang harus saya ambil dan yang paling berat dilaksanakan karena bertentangan dengan perilaku, karakter, dan sifat saya yang sangat bebas, terbuka, dan transparan.
- Saya mewarisi bentuk institusi kepresidenan yang sangat berkuasa dalam lingkungan dan budaya feodal. Hal ini harus segera saya akhiri, tanpa memberi kesan yang dapat disimpulkan sebagai “penguasa” yang lemah dan takut.
- Tahanan politik harus segera saya lepaskan dan tidak boleh lagi terjadi bahwa orang yang bertentangan dengan pendapat atau rencana Presiden, harus dimasukkan ke dalam penjara, kecuali mereka yang terbukti telah melaksanakan tindakan kriminal.
- Kebebasan berbicara, kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan pers, dan kebebasan unjuk rasa harus segera dilaksanakan.
- Saya menyadari dan dapat mengerti, jikalau yang pernah dirugikan dalam masa Orde Baru menilai negatif, bahkan bersikap anti kepada saya karena kedudukan dan kedekatan saya dengan kekuasaan selama hampir 25 tahun lamanya, serta menganggap saya ikut bertanggung jawab atas terjadinya multikrisis yang kita hadapi. Oleh karena itu, sikap saya dalam menghadapi semua persoalan harus arif dan toleran demi persatuan dan kesatuan dua ratus juta lebih penduduk Indonesia.
- DPR dan MPR harus diberi legitimasi yang kuat berdasarkan pemilu yang demokratis. Dan kesempatan terbuka untuk mendirikan partai politik apa saja, diperbolehkan asal tidak melanggar UUD ‘45 dan Ketetapan MPR. Untuk itu saya harus berkonsultasi dengan MPR.
- Sidang Istimewa MPR harus diselenggarakan dalam waktu sesingkat-singkatnya untuk memberi dasar hukum bagi reformasi dan pemilu yang dibutuhkan. Hanya dengan demikian, suatu revolusi dan khaos, yang bisa memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dapat dicegah.
- Saya harus segera mengikutsertakan para teknokrat yang berpengalaman, bersama secara proporsional wakil semua fraksi di MPR bekerja sebagai satu tim dalam kabinet, yang dalam waktu sesingkat-singkatnya harus dibentuk.
- Semua kebijakan dan tindakan yang tepat dan berkualitas harus berlangsung rapi, transparan, dan konsisten dengan iktikad dan niat lebih cepat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi, seiring dengan perubahan yang terus berkembang tiap detik.
- Kemungkinan terjadinya pengambil alih kekuasaan oleh anggota ABRI minimal, karena tidak ada anggota pimpinan ABRI yang memiliki kharisma yang dapat diterima oleh semua angkatan, darat, udara, laut, dan polisi, untuk memimpin bangsa.
- Semua dasar pemikiran, iktikad dan niat saya ini tidak boleh saya sampaikan kepada siapa pun juga, walaupun ditanya atau dipancing secara langsung atau tidak langsung.
Catatan penting tentang langkah-langkah yang akan dilakukan, Ia susun hingga menjelang pukul 04.00 dini hari. Catatan 'rahasia' itu sontak membuat Habibie merasa sendirian, menghadapi situasi yang terjadi saat itu.
"Pertama kalinya dalam kehidupan saya, saya merasa seorang diri di dunia ini, dengan lingkungan yang ramah dan baik terhadap saya pribadi." ungkap Habibie.
Foto: Pelantikan Menteri Kabinet Reformasi Pembangunan, 23 Mei 1998 (Dok.Sekneg) |
Malam sebelum itu, saat bertemu Presiden Soeharto di Cendana, Soeharto menyampaikan pada Habibie, bahwa Sabtu, 23 Mei 1998, Ia bermaksud mengundang Pimpinan DPR/MPR untuk datang ke Istana Merdeka, untuk menyampaikan pengunduran dirinya sebagai Presiden setelah Kabinet Reformasi dilantik.
Tapi, yang menjadi pertanyaan Habibie saat itu adalah, Presiden Soeharto tidak menyampaikan alasan pengunduran dirinya, padahal baru saja disusun Kabinet Reformasi. Bahkan setelah dialog yang cukup seru, Soeharto sama sekali tidak menyinggung mengenai kedudukan Wakil Presiden selanjutnya.
"Apa yang sebenarnya dikehendaki Pak Harto tentang saya? apakah saya juga diminta ikut mundur? pertanyaan ini muncul karena Pak Harto sehari sebelumnya dihadapan sejumlah tokoh masyarakat seolah 'meragukan'kemampuan saya" ungkap Habibie.
"Saya tahu persis, Pak Harto sangat menyadari, bahwa Presiden dan Wakil Presiden tidak dipilih salam satu peket. Sebagaimana UUD 45 menyatakan bahwa jikalau Presiden berhalangan, maka Wakil Presiden berkewajiban untuk melanjutkan." lanjutnya.
Dalam kecamuk yang ada dalam pikirannya, membuat Habibie terpaksa bertanya.
"Pak Harto, kedudukan saya sebagai Wakil Presiden bagaimana?"
"Terserah nanti. Bisa hari Sabtu, hari Senin atau sebulan kemudian, Habibie akan melanjutkan tugas sebagai Presiden" jawab Soeharto.
Soeharto kemudian memeluknya dan mengatakan agar sabar dan melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Juga meminta Habibie menyelesaikan masalah Ginanjar Kartasasmita dan kawan-kawan.
"Laksanakan tugasmu dan waktu tidak banyak lagi" kata Soeharto yang dikutip Habibie dalam bukunya tersebut. [tvonenews]