DEMOKRASI.CO.ID - Badan Intelijen Negara (BIN) dengan tegas membantah soal laporan Conflict Armament Research (CAR), kelompok pemantau senjata berbasis di London, yang menyebut lembaga telik sandi itu membeli sekitar 2.500 mortir dari Serbia untuk operasi di Papua pada 2021 lalu.
Bantahan itu disampaikan Deputi II Bidang Intelijen Dalam Negeri BIN, Mayjen Edmil Nurjamil saat ditemui di Kantor Kemendagri, Jakarta, Kamis (16/6).
"Enggak, enggak ada. Iya kita enggak punya itu. Itu punya TNI," katanya.
Edmil juga membantah terkait temuan lapangan bahwa terdapat 32 mortir dari Serbia dijatuhkan, termasuk lima yang tak meledak di Papua. Ia pun membantah bahwa senjata itu dibeli oleh BIN.
"Enggak lah. Kan Pangdamnya sudah mengakui kalau itu senjata TNI. Kita enggak main-main begitu. Panglima Kodamnya sudah sampaikan, bulan apa itu," katanya.
Sebagai informasi, CAR melaporkan BIN membeli sekitar 2.500 mortir dari Serbia untuk agen RI di Papua dan dijatuhkan ke desa-desa pada 2021 lalu. Dilansir dari Reuters pada Sabtu (4/6), laporan menunjukkan mortir itu diproduksi pembuat senjata Serbia, Krusik.
Senjata tersebut kemudian dimodifikasi, entah oleh pihak mana, agar bisa dijatuhkan dari udara alih-alih dari tabung mortir. Tiga anggota CAR mengatakan pembelian senjata tak diungkapkan ke komite pengawasan parlemen yang menyetujui anggaran.
Laporan itu juga menunjukkan BIN menerima 3.000 inisiator elektronik dan tiga perangkat pengatur waktu yang biasanya difungsikan untuk membasmi bahan peledak.
CAR melaporkan peluru mortir 81 mm digunakan dalam serangan di sejumlah desa Papua pada Oktober 2021 lalu.
Merespons temuan itu, Komisaris PT Pindad Alexandra Wuhan tidak ingin membahas secara spesifik pembelian mortir tersebut. Ia mengatakan perusahaan tunduk dengan aturan.
"Pindad berkewajiban dan tunduk pada hukum, aturan, dan peraturan Indonesia soal pengadaan senjata militer dan sipil, begitu juga BIN sebagai pengguna akhir," tutur Alexandra. [law-justice]