Oleh SUJIWO TEJO
Awalnya hanya manusia yang dilabeli agama. Misalnya melalui KTP. Kemudian rendang. Rendang yang dicap beragama tertentu tak boleh dinistakan dengan membuatnya dari daging babi yang diharamkan agama tersebut.
—
KINI sandal jepit. Melarang sandalan jepit mengendarai sepeda motor dianggap merepotkan Jumatan di masjid yang identik dengan sandal jepit.
”Padahal banyak juga, lho, orang sembahyang ke pura dari rumah cuma sandalan jepit,” keponakan Sastro bersuara. ”Mungkin yang sandal jepitan juga ada saat ke gereja, ke wihara, kelenteng, dan lain-lain. Aku saja barangkali kebetulan belum pernah melihatnya. Komentar Pakde piye?”
Sastro lama mendongak, mengelus-elus dagunya. Ujung-ujungnya suami Jendro itu cuma merespons singkat, ”Komentarku seperti nasi kotakan…”
Sang Pembaru Dunia Wayang
Keponakannya celingukan. Tampak keras-keras ia berusaha menafsir makna komentar singkat pakdenya.
”Hmmm… Begini,” Jendro memecah keheningan. ”Maksud pakdemu… Nasi kotakan itu… Yaaaa…. Pedas tidak, tidak pedas juga tidak. Asin tidak, tidak asin juga tidak. Tapi hambar tidak, tidak hambar juga tidak… Pernah disuguhi panitia nasi kotakan?”
”Pernah, Bude…”
”Lauknya apa?”
”Lupa persisnya. Ingat rasanya. Rasa es rawon dalam plastik kecil.”
”O, konten kotakanmu itu bukan es rawon. Itu hanya rawon yang dingin tidak, tidak dingin juga tidak. Panas tidak, tidak panas juga tidak. Itulah gambaran perasaan pakdemu terhadap persoalan rendang babi dan motoran sandalan jepit.”
***
Hari berganti. Keponakan datang kembali. Pertanyaannya masih seputar sepeda motor walau bukan tentang sandal jepitnya. Ceritan ya, ”Pakde, Bude, saya baru saja ditinju banyak orang di parkiran. Gara-garanya disangka pencuri.”
Di parkiran itu lama ia memasukkan kunci ke lubang kunci sepeda motor. Tak masuk-masuk. Yo mesti ae, wong salah sepeda motor. Tertukar dengan sepeda motor orang lain. Kebetulan warna, merek, dan tahunnya sama. Perempuan tukang parkir berpekik, ”Maling…!!! Maling….!!!”
Orang-orang berdatangan. Mereka kebetulan lagi puber menggemari tinju. Demi konten di YouTube, anak sendiri dipertinjukan dengan paman maupun pakdenya. Orang-orang tipe itulah yang berebutan membogem keponakan Sastro di parkiran.
”Kok ndak bengkak-bengkak raimu?” Sastro keheranan.
”Sebab yang masuk penjara kasus e-KTP adalah Setya Novanto,” jawab keponakannya. Giliran Sastro yang kini keras-keras berusaha menafsir maknanya.
”Hmmm… Begini,” Jendro memecah keheningan. ”Sebab belum tentu berakibat. Sebab wajah dihujani tinju, belum tentu berakibat wajah memar-memar. Mungkin banyak yang menyebabkan korupsi e-KTP, tapi tidak banyak yang punya akibat dipenjara gegara itu.”
”Oooo…” Sastro terkekeh-kekeh. Tapi, menurutnya, kasus keponakannya di parkiran bukanlah satu-satunya. Tertukar itu lumrah. ”Dulu, di suatu perhelatan, aku juga pernah tertukar. Kubawa pulang istri orang yang sebelas dua belas dengan budemu. Sampai di rumah… ya di ruangan ini… di kursimu duduk itu malah… perempuan bawaanku tadi bilang, antara mabuk dan tidak, ingin makan rendang babi… Belum pernah budemu mabuk, apalagi punya keinginan seganjil itu.”
”Memangnya di pesta itu bude menghilang?”
”Tidak. Orang-orang di pesta pada mabuk. Aku orangnya ndak suka mabuk-mabukan. Nongkronglah aku di toilet. Lama sekali. Eh, pas balik lagi ke balairung, pakdemu sudah ndak di sana. ’Lho, tadi bukannya suami Ibu sudah pulang menggandeng Ibu?’ petugas sekuriti malah menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan.”
***
Total nongkrong di toilet sebenarnya juga tidak. Jendro sembari merenung, sembari meninjau banyak hal. Sembari menunggu tinjanya plung ke kloset, ia meninjau reshuffle kabinet. Ia sinis. Periode kepemimpinan sudah jelang finis, masih saja ada reshuffle. Berarti ada masalah serius dengan konstelasi politik bangsa ini.
Di pihak lain, Jendro malah salut. Comat-comot menteri saat periode kekuasaan jelang-jelang berakhir pertanda semangat perbaikan nan tak kunjung padam. Bagus. It’s not over until it’s over. Jangan pernah menyerah pada garis kekalahan selama garis finis belum terlewati. Tirulah adrenalin pembalap Valentino Rossi. Pantang ia tak berusaha menyalip walau sudah jelas-jelas tertinggal bahkan menjelang garis finis.
Tinja Jendro jatuh saat tinjauan dirinya merenungi bangsa ini telah mencapai puncak kebanggaannya.
”Plung!!!”
Duh! Jendro plong sudah.
Tak seperti perasaannya hari ini. Perasaan Jendro kurang plong. Keponakannya tak bertandang. Rumah suwung. Untung ada teman suaminya datang bertamu. Lelaki tua yang matanya berpandangan jauh itu seorang pelaut.
”Jujur, saya tak suka babi!” tandasnya. ”Tapi saya juga suka babi. Suka kalau pas dapat muatan babi. Mereka kalau berdiri selalu menghadap daratan walau daratan itu belum kelihatan. Bisa menjadi kompas kalau kehilangan arah saat navigator kapal mati.”
”Sampean tahu, arah bangsa ini akan ke mana? Ke arah kopiah sebagai simbol agama tertentu, apakah balik lagi ke arah kopiah sebagai simbol nasionalisme seperti yang zaman revolusi dahulu dipopulerkan oleh Si Bung? Apakah kopiah kini sudah beragama seperti rendang?” Jendro bertanya. []