DEMOKRASI.CO.ID - Koordinator Pusat Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI), Kaharuddin terlibat friksi dengan pegiat media sosial Teddy Gusnadi. Kaharudin menyoroti kebebasan berpendapat era pemerintahan Joko Widodo atau Jokowi.
Dalam diskusi di Catatan Demokrasi tvOne, Kaharudin awalnya menjelaskan maksud pernyataannya yang sempat viral dan menuai kritik soal era Orde Baru atau Orba yang beri kekebasan berpendapat. Dia mengatakan makdus pernyataannya saat itu sebagai pembanding antara Orde Lama, Orba, dan era pemerintahan Jokowi.
"Saya sampaikan klarifikasi sebagaimana benar-benar waktu itu. Pada Orde Baru itu kita tidak punya kebebasan tapi memperoleh kesejahteraan," kata Kaharudin yang dikutip VIVA dari YouTube tvOneNews, Rabu, 20 April 2022.
Dia menyinggung soal kesejahteraan di era Orba bisa dilihat dengan kesenjangan sosial yang sempit. Berbeda dengan kondisi sekarang yang justru kesenjangan tambah melebar.
Kaharudin merujuk Oxfam yang menyampaikan 4 orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan setara 100 juta penduduk miskin. Menurut dia, dari Indeks 2004-2017, semakin tinggi kesenjangan antara kaya dan miskin.
Menurutnya, dalam kebebasan berpendapat yang sulit jangan terulang kembali. Ia tak menampik banyak masalah kebebasan dan pelanggaran HAM di era Orba. Pun, ia punya alasan membandingkan dengan era Jokowi saat ini.
"Kenapa kita ke era sekarang? bagaimana janji Presiden mengungkap tentang HAM. Presiden Jokowi meminta masyarakat meminta aktif untuk mengkritik pemerintah. Di sisi lain...," ujar Kaharudin.
Kaharuddin yang belum selesai jelaskan paparannya, Teddy Gusnaidi langsung memotongnya. Dengan geram, dia langsung bertanya kepada mahasiswa Universitas Riau (UNRI) tersebut.
"Hei, saya kasih tahu. Kalau seandainya rezim ini otoriter, kamu sudah tidak ada di dunia ini!" kata Teddy dengan nada tinggi.
Kaharuddin pun meminta agar Teddy memberikan kesempatan dirinya bicara. Sebab, ia menghormati Teddy saat menyampaikan argumennya.
"Saya dari tadi izinkan abang berbicara, Jadi, izinkan saya berbicara menyampaikan poin-poin saya," tutur Kaharuddin.
Presenter Catatan Androda Mercury meminta Teddy untuk beri kesempatan kepada Kaharuddin bicara.
Teddy bilang bahwa Kaharudin bicaranya ngawur dan nggak jelas.
"Saya nggak minta pengajaran dari kamu, jelas. Poinnya aja," ujar Teddy.
Kaharudin pun melanjutkan paparannnya. Dia menyampaikan kebebasan untuk mengkritik di era sekarang seperti dihadapkan terhadap dua hal yaitu buzzer dan ancaman Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronika (UU ITE).
"Jadi, kan seperti itu, Jangan sampai hari ini kita seperti mundur. Jadi, perbandingannya seperti itu," sebut Kaharuddin.
Dia menambahkan untuk kesejahteraan saat ini juga dipertanyakan. Sebab, utang pemerintah sekarang di tahun 2022 sudah melebihi Rp7 ribu triliun.
Belum selesai Kaharuddin bicara, lagi-lagi Teddy menyanggahnya. Dia mempertanyakan soal kebebasan di era Jokowi.
"Bos, soal kebebasan apakah Anda di rezim ini merasa terganggu nggak? Itu kan poinnya yang ditanya," tanya Teddy.
"Apakah Anda diintimidasi rezim ini di poin ini, itu yang ditanya. Apakah Anda diintimidasi rezim ini?" lanjut Teddy.
Kaharuddin lalu menjawab dugaan intimidasi terhadap kritik mahasiswa itu salah satunya dengan cara pemilihan rektor sejumlah universitas secara langsung oleh Presiden.
Teddy kembali memotong argumen Kaharuddin. Dia menuding anak-anak BEM SI seperti tidak punya ilmu.
"Makanya saya bilang anak-anak ini nggak punya ilmu. Maka itu, saya bilang Anda bukan keseleo. Tapi, Anda itu tidak punya dasar. Tidak memiliki ilmu sama sekali!" kata Teddy.
"Anda kan bertanya tentang kebebasan?" jawab Kaharuddin.
Teddy merespons bahwa kalau mau bicara tentang Undang-Undang Dasar (UUD) itu sudah jelas.
"Saya mau tanya Anda di rezim ini, apakah kebebasan Anda dikebiri nggak?" tanya Teddy lagi.
Kaharuddin dengan tenang coba menjawab Teddy. Dia melanjutkan bahwa beberapa pengurus BEM belum mendapatkan Surat Keputusan (SK) dari rektor. Belum lagi mahasiswa yang menggelar aksi turun ke jalan langsung dipanggil pihak rektorat.
"Bagaimana surat pemanggilan waktu melakukan aksi. Itu kan kita tidak membedakan antara Orde Baru dan Orde sekarang," tuturnya.
Dia hanya meminta agar era sekarang bisa belajar dari pengalaman sebelumnya. Dia tak ingin persoalan kebebasan terhambat terulang lagi.
"Itu jadi pembelajaran bagaimana hari ini tidak ada yang menyampaikan bahwa hari ini lebih buruk dari Orde Baru. Tapi, hari ini saya sampaikan kita jangan seperti mundur," jelas Kaharuddin. [viva]