DEMOKRASI.CO.ID - Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menyatakan, status tersangka Ade Armando hingga saat ini masih belum hilang. Hal itu merespons Ade yang masih berakivitas bebas di luar dan tidak ditahan Polda Metro Jaya meski berstatus tersangka kasus penistaan agama sejak 2017.
Hal itu membuat warganet dan sebagian kalangan menganggap Ade kebal hukum dan mendapatkan keistimewaan di mata aparat hukum. "Sepanjang belum ada penghentian penyidikan (SP3) status TSK (tersangka) itu tetap melekat," kata Fickar ketika dihubungi Republika di Jakarta, Kamis (14/4/2022).
Menurut dia, Polda Metro Jaya hendaknya segera menyelesaikan berkas kasus Ade. Hal itu agar tidak muncul anggapan di masyarakat ada orang tertentu yang diistimewakan dan kebal hukum dalam kasus yang ditangani Polda Metro Jaya. "Perkaranya harus dilanjutkan," ucap Fickar.
Polda Metro Jaya bergerak cepat menangani kasus pemukulan yang dialami Ade Armando di depan gedung DPR/MPR Jalan Gatot Subroto, Senin (11/4/2022). Sementara itu, kasus Ade yang sudah berlangsung lima tahun malah dibiarkan jalan di tempat. Menariknya, Polda Metro Jaya seolah menutup mata dengan kasus penodaan agama tersebut.
"Itu nanti dulu kita fokus dulu ke penanganan kasus pemukulan dan pengeroyokannya dulu ya," ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Endra Zulpan saat ditemui di Markas Polda Metro Jaya, Semanggi, Jakarta Selatan, Selasa (12/4/2022).
Dalam perkara ujaran peninstaan agama, Ade Armando dilaporkan oleh seorang warga bernama Johan Khan karena cicitan tersangka melalui media sosial. Ade menuliskan "Allah kan bukan orang Arab. Tentu Allah senang kalau ayat-ayat-Nya dibaca dengan gaya Minang, Ambon, China, Hiphop, Blues".
Ade membuat status melalui media sosial Facebook dan Twitter dengan akun @adearmando1 pada 20 Mei 2015. Hanya saja, Johan Khan baru melaporkan dosen komunikasi Universitas Indonesia (UI) tersebut pada 2016. Johan mendesak Ade menyampaikan permohonan maaf melalui akun Twitter, tapi tersangka tidak memenuhinya.
Ditreskrimsus Polda Metro Jaya sempat mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) terhadap Ade. Namun, Johan menggugat ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) yang menyidangkan kasus tersebut. Hakim PN Jaksel pun mengabulkan permohonan praperadilan atas SP3 oleh Johan terhadap Ade. Alhasil, sejak saat itu hingga sekarang, Ade masih berstatus tersangka dugaan pelanggaran Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Johan meminta dosen komunikasi Universitas Indonesia itu ditahan. Penahanan itu menyusul penetapan Ade sebagai tersangka. "Harapan saya agar bisa ditahan," ujar Johan Khan kepada Republika.co.id, Rabu (25/1/2017).
Menurut Johan, Ade juga dikenakan pasal tentang penodaan Agama yakni pasal 156 A dengan ancaman hukuman lima tahun penjara. Namun dalam kesempatan terpisah, polisi mengklarifikasi bahwa Ade Armando baru dikenakan UU ITE.
Polisi mengakui pada awalnya, Ade dikenakan dengan pasal penistaan agama. Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Raden Prabowo Argo Yuwono saat itu menjelaskan, perubahan pasal tersebut karena penyidik hanya menemukan pelanggaran UU ITE dalam proses penyelidikan.
"Jadi dari penyidik di dalam melaksanakan kegiatan penyelidikan kita masih menemukan pasal itu (UU ITE) yang kita terapkan," ujar Argo kepada wartawan di Mapolda Metro Jaya, Rabu (25/1/2017).
Johan mengungkapkan alasan mengapa Ade perlu ditahan. Berdasarkan alasan objektif, tersangka dikenakan pasal dengan ancaman hukuman bisa lebih dari lima tahun. Kemudian secara subjektif Ade dikhawatirkan bisa mengulangi perbuatannya. [republika]