DEMOKRASI.CO.ID - Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa menyatakan tidak akan mundur dan malah akan menghadapi krisis politik dan ekonomi negara itu.
Hal ini seperti yang disampaikan salah seorang menteri penting pemerintah negara tersebut pada Rabu (6/4/2022) kemarin seperti dilaporkan Associated Press.
Sikap presiden yang tak mundur ini berlangsung di tengah aksi protes besar yang terus berlanjut dan menuntut pengunduran diri sang presiden.
Sri Lanka diketahui mengalami kekurangan parah bahan bakar dan kebutuhan pokok selama berbulan-bulan, dan protes atas masalah ekonomi menyebar ke seluruh negeri dan meluas ke kritik terhadap Presiden Gotabaya Rajapaksa serta keluarganya yang kuat secara politik.
Rajapaksa menolak seruan agar dia mengundurkan diri bahkan setelah anggota koalisinya sendiri mendesaknya untuk mundur minggu ini.
Anggota parlemen partai yang memerintah mengatakan pemerintah sementara harus menggantikannya dan jika tidak melakukannya akan membuat mereka bertanggung jawab atas kekerasan tersebut.
"Rajapaksa tidak akan mengundurkan diri. Kami akan menghadapi ini. Kami memiliki kekuatan untuk menghadapi ini. Kami tidak takut," kata Menteri Jalan Raya Johnston Fernando kepada Parlemen, Rabu.
Beberapa jam sebelumnya, Rajapaksa mencabut status darurat yang dia nyatakan pekan lalu, menyusul unjuk rasa besar di dekat rumahnya di ibu kota, Kolombo.
Pernyataan keadaan darurat yang dikritik secara luas itu memberi Rajapaksa wewenang besar untuk bertindak melindungi keamanan publik, termasuk menangguhkan undang-undang apa pun, mengizinkan penahanan, dan menyita properti.
Gambar TV dan media sosial dari hari Senin (4/4) menunjukkan pengunjuk rasa menyerbu ke kantor dan rumah anggota parlemen partai yang memerintah dan merusak beberapa tempat.
Anggota parlemen mendesak ketua parlemen untuk memastikan keselamatan mereka, dan Fernando mengatakan mereka siap.
“Kami siap menghadapi mereka jika ada yang datang menyerang kami,” kata Fernando di parlemen.
Protes berlanjut hari Rabu kemarin di banyak bagian negara yang menuntut agar Rajapaksa mundur.
Di Kolombo, ratusan dokter menggelar pawai protes mendesak pemerintah mengatasi kekurangan obat-obatan di rumah sakit yang dikelola negara, sementara anggota parlemen oposisi berdemonstrasi di Parlemen menuntut agar Rajapaksa mengundurkan diri.
Protes menyebabkan 10 menit penangguhan kerja Parlemen.
Di tempat lain di negara itu, mahasiswa, pengacara, dan kelompok lain juga memprotes pemerintah.
Rajapaksa sebelumnya mengusulkan pembentukan pemerintah persatuan untuk menangani krisis, tetapi partai oposisi utama menolaknya.
Kabinetnya mengundurkan diri Minggu malam, dan pada hari Selasa (5/4), hampir 40 anggota parlemen koalisi yang memerintah mengatakan mereka tidak akan lagi memilih sesuai dengan instruksi koalisi. Manuver itu secara signifikan melemahkan pemerintah.
Presiden dan kakak laki-lakinya, Perdana Menteri Mahinda Rajapaksa, terus memegang kekuasaan, meskipun keluarga mereka yang kuat secara politik menjadi fokus kemarahan publik.
Lima anggota keluarga lainnya adalah anggota parlemen, termasuk Menteri Keuangan Basil Rajapaksa, Menteri Irigasi Chamal Rajapaksa, dan seorang keponakan, Menteri Olahraga Namal Rajapaksa.
Pengaruh besar politik keluarga tumbuh sebagian dari Mahinda Rajapaksa yang dipuji ketika dia menjadi presiden sebelumnya karena mengakhiri perang saudara 25 tahun Sri Lanka, dengan kekalahan pemberontak Macan Tamil pada tahun 2009.
Sekarang ada kekhawatiran kontrol keluarga atas fungsi-fungsi utama negara melemahkan lembaga-lembaga independen dan membuat pemerintah tidak mampu mengatasi krisis.
Pemerintah memperkirakan pandemi Covid-19 merugikan ekonomi Sri Lanka 14 miliar dollar AS dalam dua tahun terakhir.
Para pengunjuk rasa juga menuduh adanya salah urus fiskal. Sri Lanka punya utang luar negeri yang sangat besar setelah banyak meminjam untuk infrastruktur dan proyek lain yang tidak menghasilkan uang.
Kewajiban pembayaran utang luar negerinya sekitar 7 miliar dollar AS untuk tahun ini saja.
Hutang dan cadangan devisa yang semakin menipis membuat Sri Lanka tidak mampu membayar barang-barang impor.
Selama beberapa bulan, warga Sri Lanka harus mengantre panjang untuk membeli bahan bakar, makanan, dan obat-obatan, yang sebagian besar berasal dari luar negeri dan dibayar dengan mata uang keras.
Kekurangan bahan bakar, bersama dengan kapasitas tenaga air yang lebih rendah akibat cuaca kering dan rendahnya debit air menyebabkan pemadaman listrik bergilir yang berlangsung berjam-jam setiap hari.
Rajapaksa bulan lalu mengatakan pemerintahnya sedang dalam pembicaraan dengan Dana Moneter Internasional IMF ,dan beralih ke China dan India untuk pinjaman sementara dia mengimbau rakyat negaranya untuk membatasi penggunaan bahan bakar dan listrik. [kompas]