DEMOKRASI.CO.ID - KALAU sejak awal Presiden Joko Widodo tegas mengecam invasi Rusia ke Ukraina, posisi Indonesia dalam pertemuan G20 tidak akan serunyam ini. Sebagai pemimpin forum ekonomi global itu, Indonesia menghadapi pilihan sulit: Amerika Serikat mengancam memboikot karena Indonesia mengundang Rusia.
Indonesia tidak bisa memandang sebelah mata ancaman Amerika Serikat tersebut. Situasinya bisa makin runyam jika ancaman Amerika itu diikuti negara-negara Barat yang mengutuk serangan militer Rusia. Indonesia akan menanggung malu jika pertemuan G20 hanya dihadiri segelintir pemimpin negara, terutama mereka yang tidak bersikap atau diam-diam mendukung Rusia.
Menjadi pemimpin G20 sejatinya adalah kesempatan Indonesia mendorong penyelesaian perang Rusia-Ukraina. Presiden Jokowi tentu menyadari bahwa Undang-Undang Dasar 1945, dalam pembukaannya, mengamanatkan Indonesia ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Jika Presiden Jokowi berpegang pada prinsip dasar itu, tidak ada alasan apa pun yang membenarkan Indonesia bersikap diam atas invasi Rusia ke negara berdaulat, apalagi mengundangnya ke pertemuan G20 di Tanah Air. Nyatanya, Presiden Jokowi memilih bersikap pragmatis. Dengan dalih bersikap netral dan menjalankan politik bebas aktif, Indonesia tidak mengutuk Rusia atas pembantaian ribuan penduduk sipil di Ukraina.
Seorang pemimpin negara semestinya mengutamakan konstitusi di atas pragmatisme. Dalam perang, ketidakjelasan sikap bisa segera dimaknai sebagai dukungan terhadap serangan militer Rusia itu. Sejauh ini belum ada kajian terbuka yang menyatakan bahwa berdiri di sisi Rusia dan menentang negara-negara Barat lebih menguntungkan bagi Indonesia, baik secara pragmatis, ekonomi praktis, maupun diplomasi. Tidak ada pula analisis yang mengungkapkan bahwa mendukung Rusia lebih besar manfaat daripada kerugiannya.
Sebagai negara yang anti-penjajahan, Indonesia semestinya berpihak kepada Ukraina. Apalagi, sejarah mencatat negara pecahan Uni Soviet itu menjadi yang pertama mendukung Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa ketika Indonesia berjuang mempertahankan kemerdekaan yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Dalam sidang pada 21 Januari 1946, utusan Republik Sosialis Soviet Ukraina di PBB, Dmitry Manuilsky, mendesak Dewan Keamanan PBB menyelidiki keadaan di Indonesia setelah agresi militer Belanda yang, menurut dia, membahayakan perdamaian dan keamanan dunia.
Pemerintah juga tidak bisa menjadikan investasi Rusia di Indonesia sebagai alasan untuk menutup mata terhadap kejahatan kemanusiaan. Apalagi, berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal, nilai investasi Rusia di Indonesia tidak fantastis amat. Pada 2014-2021 nilai investasi Rusia sebesar US$ 65,9 juta atau sekitar Rp 942 miliar, dan tahun lalu Rusia menyumbang hanya 0,1 persen dari keseluruhan investasi di negara kita.
Sikap gamang Presiden Jokowi merespons serangan Rusia ke Ukraina telah membuat Indonesia terjepit di antara dua arus besar negara-negara anggota G20 yang mengecam dan yang mendukung invasi Rusia. Sebagai pemimpin G20, Indonesia semestinya mengambil posisi lebih tegas terhadap Rusia, yakni mengecam invasi, karena sejalan dengan sikap dasar konstitusi yang menolak segala bentuk penjajahan di muka bumi ini.
(Sumber: Editorial Koran TEMPO, 19-04-2022)