DEMOKRASI.CO.ID - Analis geopolitik Dina Sulaeman murka menanggapi surat terbuka Dubes Ukraina Vasyl Hamianin ke Presiden Jokowi. Surat itu dianggap tidak sopan sampai mengajari rasa malu.
Menurut Dina Sulaeman, surat terbuka Dubes Ukraina ke Jokowi telah melanggar etika demokrasi.
“Kalau pun mau menulis surat, kirim saja lewat jalur diplomatik, bukan surat terbuka,” cetus Dina Sulaeman, dalam postingannya di akun Facebook, Selasa (8/3).
Pengamat Timur Tengah ini menegaskan, meskipun dia tidak setuju dengan sikap pemerintah yang memilih mendukung resolusi anti-Rusia dalam Sidang Umum PBB, tapi dia tetap membela jika ada negara lain bersikap tidak sopan kepada pemerintah.
“Karena pemerintah adalah “orang tua” dari bangsa ini. Kita berhak mengkritik ortu, tapi dengan alasan yang benar dan cara yang sopan. Tapi kalau ortu kita dihina orang lain, pastilah kita bela. Ya kan?,” kata Dina Sulaeman.
Dijelaskan Dina, dalam surat terbuka itu, Dubes Ukraina seolah merasa berhak mengajari seorang presiden di sebuah negara sebesar Indonesia.
Surta terbuka Dubes Ukraina dianggap mendikte Presiden Jokowi.
“Ini bukan sikap yang sopan dari seorang Dubes. Kemenlu kami sudah punya banyak staf ahli yang kompeten untuk menganalisis situasi,” cetus Dina.
Selain itu, Dubes Ukraina juga menggunakan sentimen agama untuk meminta dukungan dari Indonesia.
Pernyataan Dubes Ukraina seolah melupakan sikap negaranya yang bergabung dengan Amerika Serikat (AS) menyerang muslim di Irak pada 2003.
“Mister, negara Anda pada tahun 2003 BERGABUNG dengan AS untuk MENYERANG kaum Muslim di Irak! Selama 5 tahun perang, Ukraina telah mengirim 5000 pasukan tempur (kontingen terbesar ketiga dalam koalisi AS). Ketika tuduhan terhadap Irak (memiliki senjata pembunuh massal) terbukti palsu, apa negara Anda minta maaf atas darah kaum Muslim yang tertumpah di Irak?,” tegas Dina.
Berikut ini surat terbuka Dubes Ukraina ke Jokowi yang kemudian dibalas oleh Dina Sulaiman:
Surat Terbuka Duta Besar Ukraina Untuk Indonesia Dr. Vasyl Hamianin Kepada Pemerintah Republik Indonesia
Yang Mulia,
Saya buka suara saat ini, ketika Tanah Air saya Ukraina sedang berjuang melawan serangan tak beralasan dan tak dapat dibenarkan dari Rusia, serta karena nasib dan eksistensi negara Ukraina sedang berada di ujung tanduk.
Agresi militer Rusia terhadap Ukraina yang diperintahkan oleh diktator tak berakal sehat, Putin, masih berlanjut hingga saat ini, dan telah menewaskan sejumlah besar warga sipil Ukraina.
Pengeboman besar-besaran dan penembakan rudal yang dilakukan oleh Rusia terhadap pemukiman warga sipil di kota-kota Ukraina sudah bukan rahasia lagi. Federasi Rusia dan diktatornya, Putin, telah melakukan tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang sungguh keterlaluan.
Ukraina sedang berada di ambang krisis kemanusiaan, dan saya tahu ini bukan dari media, tetapi langsung dari ibu saya yang berusia 74 tahun, dari ketiga anak saya, istri saya, juga banyak teman saya di sana.
Ribuan video dan foto tindakan kejam Rusia akan menjadi bukti utama bagi Pengadilan Den Haag, yang kelak pasti akan dihadapi oleh Putin si pembunuh, serta para kaki tangannya.
Bukankah itu alasan yang tepat bagi Indonesia untuk angkat bicara? Untuk berani berdiri menentang kejahatan perang serta kejahatan terhadap kemanusiaan, dan mengutuk keras Rusia dan Putin? Untuk mengecam serta menyebut nama agresor?
Saya sangat berharap kita masih mengingat negara mana yang pada tahun 1945-1949 mendukung Indonesia di PBB, ketika tanah air Yang Mulia menghadapi tantangan dari negara-negara besar? Bukankah itu negara Ukraina dan Wakil Tetapnya, yaitu Dmytro Manuilsky?
Saya sangat berharap kita memahami bahwa saudara-saudari Muslim, mungkin saat ini juga, mati terbunuh oleh karena serangan Rusia? Dan bahwa para pejuang Muslim Ukraina dengan berani bergabung dengan barisan Tentara Ukraina untuk membela Ukraina?
Saya sangat berharap agar dipahami bahwa sanksi internasional yang dikenakan kepada Rusia sebagai penjajah akan turut mempengaruhi perekonomian Indonesia?Apakah Yang Mulia siap untuk tetap diam sementara orang Indonesia menderita pula? Hanya karena agresi Rusia terhadap Ukraina?
Saya sangat berharap sudah cukup jelas bahwa setiap proyek kerja sama Indonesia dengan Federasi Rusia saat ini sedang diragukan kelanjutannya? Dan mungkin tidak dapat terselesaikan dalam beberapa dekade ke depan? Karena agresi Rusia terhadap Ukraina?
Saya sangat berharap Indonesia mengingat apa itu separatisme. Karena inilah alasan utama Putin menyerang.Bangsa Indonesia adalah bangsa yang bangga dan berani, yang menghendaki perdamaian dan stabilitas.
Kini, Indonesia sedang berkembang menjadi salah satu kekuatan global dan bukan hanya sekedar pemimpin regional. Apakah Indonesia akan tetap diam?
Perang yang keterlaluan ini, serta agresi Rusia terhadap Ukraina akan berakhir suatu hari nanti. Ukraina pasti menang. Masyarakat dunia pasti akan menang atas agresor Rusia. Tidak diragukan lagi. Tiada tentara manapun yang mampu melawan ataupun mengalahkan Bangsa.
Setelah perang ini berakhir, akan datang rasa malu. Rasa malu bagi negara-negara yang mendukung serangan Rusia atau tetap bungkam. Apakah Indonesia siap merasa malu? Apakah Indonesia siap kedudukannya sebagai pemimpin global dan regional tercoreng hanya demi sentimen terhadap Uni Soviet dan persahabatan di masa lalu? Apakah Indonesia siap? Apakah Indonesia rela mempertaruhkan citranya sebagai benteng perdamaian dan keamanan – hanya demi apa?
Istri, tiga anak, ipar, dan nenek saya semua berada di Kyiv – mereka ini adalah target para penjajah Rusia. Mereka menolak untuk mengungsi. Mereka memutuskan untuk lebih baik mati bersama dengan sesama warga Ukraina daripada menyerah kepada para pembunuh fasis Rusia.
Saya berharap Pemerintah Indonesia berani mengecam agresi Rusia dan mendukung Ukraina – serta seluruh dunia – dalam melawan invasi, layaknya Yang Mulia mengharapkan negara-negara asing pada tahun 1945-1949 menyuarakan dengan lantang dukungannya terhadap Indonesia.
Memang benar, kemerdekaan adalah hak segala bangsa, oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Kami sangat yakin bahwa Pemerintah Indonesia menentang keras segala bentuk penjajahan, maka kami mohon untuk menolaknya dengan tegas. Katakanlah bahwa yang benar itu benar dan apa yang salah itu salah, seperti yang tertulis dalam firman Allah dalam Al-Qur’an. Tiada bangsa yang bisa tetap acuh tak acuh saat bangsa lain sedang terancam dihancurkan sepenuhnya. Tiada justifikasi bagi agresi.
Saat ini Ukraina sangat membutuhkan bantuan militer dan kemanusiaan: peralatan, obat-obatan, selimut, helm, rompi lapis baja – apa pun yang dapat digunakan untuk mengakhiri perang kejam yang dimulai oleh Rusia.
Saya meminta dukungan dan bantuan Anda. Tuhan memberkati rakyat Ukraina. Tuhan memberkati rakyat Indonesia.
Berikut ini surat balasan Dina Sulaiman kepada Dubes Ukraina yang dianggap tidak sopan dan mengajari Presiden Indonesesia tentang rasa malu.
Dubes Ukraina, Apa Anda Paham Etika Diplomasi?
Meskipun saya menyatakan ketidaksetujuan kepada Kemenlu karena memilih mendukung resolusi anti-Rusia dalam Sidang Umum PBB (saya bilang: abstain lebih tepat) saya tetap akan membela pemerintah kalau ada negara lain bersikap tidak sopan pada pemerintah. Karena pemerintah adalah “orang tua” dari bangsa ini. Kita berhak mengkritik ortu, tapi dengan alasan yang benar dan cara yang sopan. Tapi kalau ortu kita dihina orang lain, pastilah kita bela. Ya kan?
Jadi begini ceritanya, ternyata, Dubes Ukraina di Jakarta mengirim surat terbuka kepada Presiden Jokowi. Surat itu, menurut saya, telah melanggar ETIKA DIPLOMASI. Kalau pun mau menulis surat, kirim saja lewat jalur diplomatik, bukan surat terbuka.
Selain itu, dalam surat ini terlihat sekali nada “white supremacist”-nya, yaitu nada “merasa lebih tinggi” daripada kulit berwarna, merasa berhak mengajari seorang presiden di sebuah negara sebesar Indonesia.
Berikut ini saya komentari beberapa bagian.
1. Dubes Ukraina menyebut Presiden Putin sebagai “diktator” dan “si pembunuh.” Lalu, setelah mencaci-maki Putin, Dubes Ukraina mengajari PRESIDEN Indonesia:
“Bukankah itu alasan yang tepat bagi Indonesia untuk angkat bicara? Untuk berani berdiri menentang kejahatan perang serta kejahatan terhadap kemanusiaan, dan mengutuk keras Rusia dan Putin?”
Komentar: Mister, kalimat Anda ini MENDIKTE presiden kami. Ini bukan sikap yang sopan dari seorang Dubes. Kemenlu kami sudah punya banyak staf ahli yang kompeten untuk menganalisis situasi.
2. Dubes Ukraina menggunakan sentimen agama:
“Saya sangat berharap kita memahami bahwa saudara-saudari Muslim, mungkin saat ini juga, mati terbunuh oleh karena serangan Rusia? Dan bahwa para pejuang Muslim Ukraina dengan berani bergabung dengan barisan Tentara Ukraina untuk membela Ukraina?”
Mister, negara Anda pada tahun 2003 BERGABUNG dengan AS untuk MENYERANG kaum Muslim di Irak! Selama 5 tahun perang, Ukraina telah mengirim 5000 pasukan tempur (kontingen terbesar ketiga dalam koalisi AS). Ketika tuduhan terhadap Irak (memiliki senjata pembunuh massal) terbukti palsu, apa negara Anda minta maaf atas darah kaum Muslim yang tertumpah di Irak?
3. Dubes Ukraina mengajari soal dampak ekonomi:
“Saya sangat berharap agar dipahami bahwa sanksi internasional yang dikenakan kepada Rusia sebagai penjajah akan turut mempengaruhi perekonomian Indonesia? Apakah Yang Mulia siap untuk tetap diam sementara orang Indonesia menderita pula?”
Mister, orang Indonesia itu pintar-pintar, kami punya ekonom-ekonom kelas dunia. Tidak perlu mengajari kami soal dampak ekonomi dari perang ini.
4. Dubes Ukraina mengajari soal separatisme:
“Saya sangat berharap Indonesia mengingat apa itu separatisme. Karena inilah alasan utama Putin menyerang.”
Mister, pemerintah Indonesia tidak pernah melakukan genosida pada rakyatnya sendiri, kepada suku minoritas. Sebaliknya, lihatlah apa yang terjadi di Ukraina: terjadi genosida pada etnis minoritas. Anda mau menutupi apa yang terjadi di Donbass sejak 2014 dan sikap-sikap antiminoritas yang merebak di negara Anda yang disertai kekerasan? Media mainstream pun memberitakannya, tidak bisa ditutupi lagi.
5. Dubes Ukraina mengajari soal “rasa malu”:
Setelah perang ini berakhir, akan datang rasa malu. Rasa malu bagi negara-negara yang mendukung serangan Rusia atau tetap bungkam. Apakah Indonesia siap merasa malu?
Mister, apa di Ukraina tidak ada pelajaran cara menulis surat untuk para diplomat? Sungguh surat Anda tidak sopan sekali pada Presiden kami!
6. Dubes Ukraina mengutip Al Quran :
“Katakanlah bahwa yang benar itu benar dan apa yang salah itu salah, seperti yang tertulis dalam firman Allah dalam Al-Qur’an.”
Mister, tahukah Anda, Al Quran juga mengecam kaum Yahudi yang melakukan kejahatan (tapi memuji kaum Yahudi yang benar-benar beriman pada Tuhan)?
Presiden Anda telah menyeru warga Yahudi sedunia, “Saya sekarang menyerukan kepada semua orang Yahudi di dunia, … penting bagi jutaan orang Yahudi di seluruh dunia untuk tidak tinggal diam…” Lalu, dia memuji orang-orang Yahudi yang membungkus diri dengan bendera Ukraina dan berdoa di Tembok Barat, di Yerusalem timur.
Apa Anda, wahai Dubes Ukraina, dan Presiden Anda, tidak tahu bahwa Yerusalem timur adalah kawasan pendudukan (occupied territory) dan di sana setiap hari terjadi kekerasan Israel terhadap warga Palestina? Penjajahan [seperti yang dilakukan Israel], jelas dikecam Al Quran, dan juga ditolak oleh bangsa Indonesia, melalui UUD 1945.
Jadi, akhir kata, menurut saya, pemerintahan yang sudah mendukung kejahatan kemanusiaan (di Irak, di Palestina), dan melakukan kekerasan terhadap etnis minoritas, tidak berhak mengajari pemerintah Indonesia soal bagaimana kami harus bersikap.
Kulit kami memang berwarna, tapi kami jauh lebih punya nurani dan akal sehat. [fajar]