DEMOKRASI.CO.ID - Joko Widodo dianggap sebagai Presiden yang plinplan alias tidak tegas dengan pernyataan yang disampaikannya kepada rakyat Indonesia. Khususnya terkait wacana penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden.
Direktur Eksekutif Oversight of Indonesia's Democratic Policy, Satyo Purwanto mengatakan, Presiden Jokowi sebelumnya pernah menyatakan bahwa wacana perpanjangan masa jabatan presiden menampar mukanya.
Namun, saat ini Jokowi malah menganggap wacana penundaan Pemilu 2024, yang berdampak terhadap perpanjangan masa jabatan presiden, sebagai hak dalam berdemokrasi.
"Jika membandingkan pernyataan Jokowi beberapa waktu yang lalu terkait penundaan pemilu ataupun perpanjangan masa jabatan Presiden terkesan pernyataan tersebut ambigu atau plinplan dan enggak tegas," ujar Satyo kepada Kantor Berita Politik RMOL, Senin (7/3).
Menurut Satyo, demokrasi penerapannya adalah taat azas dan sadar hukum. Bahkan, dalam demokrasi, kebebasan seseorang dibatasi oleh kemerdekaan orang lain.
"Sehingga tidak benar jika ada orang berwacana tersebut (perpanjangan masa jabatan presiden), terlebih orang tersebut menteri yang notabenenya adalah anak buah presiden," kata Satyo.
Selain itu, imbuh Satyo, dalam demokrasi juga ada keteraturan dan tidak mentolerir penyimpangan konstitusi. Sehingga, pernyataan Presiden harus diluruskan bahwa penambahan masa jabatan Presiden adalah penyimpangan demokrasi.
"Wacana yang disampaikan para menteri dan pimpinan parpol bahkan salah satunya Wakil Ketua MPR sangat tidak dibenarkan, mestinya mereka diperiksa oleh Kejaksaan Agung karena membahayakan stabilitas negara dan berupaya 'menghasut' Presiden agar melanggar UU," pungkas Satyo. [rmol]