DEMOKRASI.CO.ID - Pakar Kriminologi Universitas Indonesia (UI) Adrianus Meliala menilai penembakan terhadap terduga teroris hingga meninggal justru merugikan Detasemen Khusus Antiteror 88 (Densus 88). Menurutnya, dengan meninggalnya terduga teroris, kesempatan mengorek keterangan menjadi tertutup.
Sebelumnya, Densus 88 menembak mati dr Sunardi alias SU (54 tahun) di Kabupaten Sukoharjo, Provinsi Jawa Tengah, pada Rabu (8/3). "Sebetulnya kalau Densus 88 harus tembak mati tersangka, yang rugi Densus sendiri. Mengapa? Karena kesempatan mengorek keterangan menjadi tertutup. Jadi, tidak ada kebijakan tembak mati itu kalau tidak terpaksa," katanya saat dihubungi Republika, Jumat (11/3).
Adrianus menjelaskan, dari 2.000 lebih tersangka teroris yang digrebek Densus sejak 2004 (sejak berlakunya UU TP Terorisme), yang ditembak mati hanya 60-an orang. Selebihnya ditahan. Artinya, kalau tersangka tidak melawan secara hebat, Densus tidak menembak. Kalau cuma melawan pun tidak diberi perlakuan yang fatal.
Selain itu, perilaku tersangka yang dokter dan suka menolong tidak bisa menghapus perbuatan pidana. Jadi, itu dua hal yang berbeda. "Setahu saya, jika ada pihak-pihak yang ingin mengetahui kebenaran judgement anggota Densus saat menembak, Densus kelihatannya membuka diri agar pihak-pihak tersebut bisa melihat dokumentasi yang ada. Syaratnya tidak untuk umum," kata dia.
Sejumlah petugas Kepolisian berjaga di depan rumah terduga teroris usai penggeledahan di Serang Baru, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Senin (29/3/2021). - (ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah) |
SU ditembak saat upaya penangkapan di Jalan Bekonang Sukoharjo, depan Cendana Oli, Jawa Tengah. Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Pol Ahmad Ramadhan mengeklaim, SU melakukan penyerangan terhadap petugas saat penegakan hukum.
"Saat penangkapan, SU melakukan perlawanan terhadap petugas secara agresif dengan menabrakkan mobilnya ke arah petugas yang sedang menghentikannya," kata Ramadhan dalam konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (10/3).
Ia mengeklaim perlawanan SU tidak hanya membahayakan nyawa petugas, tetapi juga masyarakat sekitar. Menurut Ramadhan, petugas yang naik di belakang mobil double cabin yang dikemudikan SU mencoba memberikan peringatan.
Namun, SU tetap menjalankan mobilnya dan melaju dengan kencang serta membawa mobil ke kanan dan ke kiri atau zigzag dengan tujuan menjatuhkan petugas. "Kemudian menabrak kendaraannya ke arah masyarakat yang melintas," kata Ramadhan.
Polisi menyebut karena situasi yang dapat membahayakan jiwa petugas dan masyarakat, petugas melakukan upaya paksa dengan melakukan tindakan tegas terukur dengan melumpuhkan SU. "Tindakan tegas terukur mengenai di punggung atas dan bagian pinggul kanan bawah," kata Ramadhan.
Petugas lantas membawa SU ke Rumah Sakit Bhayangkara Polresta Surakarta untuk penanganan medis. Namun, yang bersangkutan dinyatakan meninggal dunia saat dievakuasi.
Ramadhan mengatakan, SU diduga adalah anggota jaringan teroris kelompok Jamaah Islamiyah (JI). Ia juga pernah menjabat amir khidmat, menjabat deputi dakwah dan informasi. "Yang bersangkutan juga sebagai nasihat amir JI dan juga penanggung jawab Hilal Ahmar Society Indonesia," ujarnya.
Sunardi diketahui berprofesi sebagai dokter dan membuka praktik di rumahnya di RT 03/RW 07 Kampung Bangunharjo, Kelurahan Gayam, Kabupaten Sukoharjo, Jateng.
Ketua RT 03 Bangunharjo Bambang Pujiana mengatakan, SU memang berprofesi sebagai dokter dan warga yang tinggal di kampung tersebut. Bambang mengaku kaget saat dihubungi anggota Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) Sukoharjo yang menginformasikan bahwa warganya, SU, meninggal karena terlibat jaringan terorisme.
Dia menjelaskan SU merupakan seorang dokter yang membuka praktik di rumah. SU memiliki empat anak dan satu istri, yang juga bekerja sebagai dokter. Dia juga membuka praktik dokter umum di sebuah klinik kesehatan di Solo.
Menurut Bambang, SU tertutup dengan warga sekitar, bahkan tidak pernah hadir di acara kampung, seperti kerja bakti dan rapat warga. SU juga tidak pernah bertegur sapa dengan warga sekitar.
SU baru terlihat jika akan ke masjid dan langsung pulang ke rumah jika selesai beribadah. Menurut dia, SU dan keluarganya bukan warga asli Kelurahan Gayam, melainkan pendatang yang membeli rumah di Sukoharjo. Selama di Sukoharjo, SU belum menyerahkan Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) kepada RT setempat.
Polisi menunjukkan foto salah satu terduga teroris dalam konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (1/12/2021). - (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/wsj.) |
Sementara itu, kondisi rumah SU terlihat sepi dengan pintu tertutup rapat, kemarin. Terlihat papan bertuliskan jadwal praktik dokter Sunardi beserta nomor surat izin praktik (SIP).
Di media sosial, penembakan terhadap Sunardi menjadi bahan perbincangan di lini masa. Sunardi merupakan dokter lulusan Universitas Sebelas Maret (UNS) 1986 dan anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Solo.
Dia disebut sebagai aktivis lembaga kemanusiaan Hilal Ahmar Society Indonesia (HASI) dan Jamaah Islamiyah, yang merupakan jaringan Alqaidah. Adapun HASI sudah ditetapkan sebagai organisasi teroris oleh Polri sejak 2015.
Hanya saja, warganet pun bertanya-tanya dengan mekanisme penangkapan dan penembakan terhadap seorang terduga teroris di jalanan. Akun milik dokter Jojo, misalnya, heran lantaran mengapa Sunardi tidak ditangkap saja di tempat praktiknya sehari-hari.
Padahal, tempat praktik dokter tersebut beralamat jelas di tepi jalan dan tercatat di IDI. Yang terjadi malahan Sunardi disergap Densus 88 di jalan raya hingga terjadi kejar-kejaran.
Bahkan, pemilik akun @jantungpiisang tersebut mengunggah foto lokasi tempat praktik Sunardi. Status yang dibuatnya disukai seribu akun lebih dan dikomentari ratusan akun.
IDI cabang Sukoharjo mengunjungi keluarga almarhum Dr. Sunardi, lanjut koordinasi dg Tim Intelkam Polres, & menjawab pertanyaan wartawan. Mohon doanya agar tetap bisa mengawal secara profesional. Kami tegaskan bahwa IDI adalah organisasi profesi yang taat azas dan konstitusi NKRI pic.twitter.com/smpJN9wvsn
— Arif Budi Satria (@arifbudisatria) March 11, 2022
"Beliau praktik dengan izin resmi setiap hari, pagi dan sore. Rumah beliau bukan di tengah perkampungan. Kalau memang beliau sudah jadi target penangkapan kenapa nggak dijemput di rumahnya? Kenapa malah di jalan raya yang mana banyak pengguna jalan lainnya?? Buat jalan aja beliau pakai tongkat," ujarnya.
Akun milik dokter Eva Sri Diana Chaniago juga mempertanyakan langkah penindakan aparat yang dilakukan di jalanan. Status pengadilan jalanan yang disampaikan dokter Eva disukai dan ditanggapi ribuan akun.
"Demi Allah kami menuntut keadilan untuk dr Sunardi. Kami menyelamatkan manusia dengan jiwa raga. Kami tidak akan berkhianat demi bangsa dan negara. Jika siapa yang bersalah dengan mudah diputuskan dan diselesaikan dengan kematian di jalan. Untuk apa ada hukum dan perangkatnya??" katanya melalui akun @__Sridiana_3va.
Akun @WathonAminul juga mempertanyakan mengapa aparat sampai menghabisi nyawa Sunardi yang tidak bersenjata. "Jika dari Sunardi tidak bersenjata lalu melarikan diri, kenapa tidak dilumpuhkan, kenapa harus dibunuh? Woi @DivHumas_Polri. Semoga pembunuh dan pembelanya jika berposisi benar menurut Alloh, aman, penuduh dilaknat, tapi jika sebaliknya, semoga pembunuh dan pembela dilaknat dunia akherat," katanya.
Inalilahi wainalilahi rojiun. Belasungkawa saya untuk keluarga almarhum dokter Sunardi. Ini adalah hari yang amat kelam dan melukai semua orang yang percaya serta berharap pada keadilan. pic.twitter.com/PiMCZkglgE
— Zubairi Djoerban (@ProfesorZubairi) March 11, 2022
Lembaga filantropi MER-C Indonesia juga menyesalkan terjadinya penembakan terhadap Sunardi. Ketua Presidium MER-C, Dr Sarbini Abdul Murad, mengatakan, penembakan mati di tempat tanpa proses peradilan yang dilakukan oleh Densus 88 adalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) karena tidak mengedepankan asas praduga tidak bersalah dan harus dapat dipertanggungjawabkan.
"Untuk itu, demi kemanusiaan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, MER-C meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk turun guna melakukan investigasi dan verifikasi atas insiden penembakan ini," kata Sarbini melalui pesan tertulis kepada Republika, Jumat (11/3/2022).
Sarbini mengatakan, hasil investigasi agar disampaikan kepada publik sehingga bisa menjawab pertanyaan yang ada dalam benak masyarakat. Ia juga menegaskan, aparat dalam hal ini Densus 88 seharusnya bisa bertindak lebih persuasif kepada orang-orang yang masih terduga terorisme.
Terlebih, menurutnya, Sunardi adalah dokter yang akan bertindak kooperatif apabila Densus 88 melakukan pendekatan persuasif, tidak menganggapnya sebagai penjahat dan dilakukan penembakan di luar mekanisme hukum.
"MER-C Indonesia menyampaikan duka dan keprihatinan mendalam atas insiden penembakan sejawat, Dr Sunardi. MER-C berharap kejadian serupa tidak terulang dan tidak dilakukan kembali oleh aparat dengan dalih apapun," ujar Sarbini. [republika]