DEMOKRASI.CO.ID - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Marves) Luhut Binsar Pandjaitan berbicara mengenai wacana perpanjangan jabatan Joko Widodo (Jokowi) untuk menjadi Presiden RI.
Menurut Luhut, saat ini adanya perpanjangan jabatan Presiden Jokowi ini adalah bagian dari demokrasi. Namun semuanya nanti diserahkan kepada rakyat Indonesia DPR dan MPR untuk menentukannya. Pasalnya MPR yang punya kewenangan untuk mengubah konstitsi perpanjangan jabatan kepala negara.
“Soal mungkin atau tidak, itu DPR dan MPR yang menentukan. Tapi, bahwa ada wacana-wacana macam-macam di publik itu bagian dari demokrasi,” ujar Luhut dalam sebuah wawancara di kanal YouTube Deddy Corbuzier, dikutip Jumat (11/3).
“Jadi ada yang bilang hastag turunkan Jokowi, ya so what, terus ada yang bilang Jokowi perpanjang ya udah, tapi kalau suara membesar ya silakan mau ditanggapi atau tidak, kan tergantung dari perwakilan rakyat juga,” tambahnya.
Luhut juga mengaku dirinya memiliki data dari rakyat Indonesia yang menginginkan agar Pemilu 2024 ditunda pelaksanaanya. Sehingga wacana penundaan Pemilu ini berdasarkan suara dari rakyat Indonesia.
“Kita kan punya big data, dari big data itu 110 juta itu macam-macam, dari Facebook dan segala macam, karena orang main Twitter kira-kira 110 juta,” katanya.
Luhut menuturkan, dari big data tersebut masyarakat kelas menengah ke bawah menginginkan tidak ingin adanya kegaduhan politik di Indonesia akibat Pemilu 2024. Bahkan masyarakat takut adanya pembelahan, seperti di Pilpres 2019 lalu yang muncul ‘kecebong’ dan ‘kampret’.
“Kalau di bawah menengah bawah ini itu pokoknya pengen tenang, bicaranya ekonomi, tidak mau lagi seperti kemarin, karena tidak mau lagi kita sakit gigi dengar ‘kampret’, ‘kecebong’, ‘kadrun’ lah itu kan menimbulkan tidak bagus. Masa terus-terusan begitu,” ungkapnya.
Bahkan Luhut mengungkapkan dari big data tersebut masyarakat juga tidak ingin Indonesia dalam keadaan susah akibat pandemi Covid-19, namun malah menghaburkan uang demi penyelenggaran Pemilu 2024. Pasalnya menurut Luhut, Pemilu dan Pilkada serentak 2024 bisa menghabiskan anggaran negara sebesar Rp 110 triliun.
“Sekarang lagi gini-gini sekarang kita coba tangkap dari publik, itu bilang kita mau habisin Rp 110 triliun lebih untuk memilih ini keadaan begini, ngapain sih. Rp 110 triliun untuk Pilpres dengan Pilkada, kan serentak. Nah itu yang rakyat ngomong,” tegasnya.
Karena itu, Luhut megatakan seharusnya partai-partai politik bisa menangkap aspirasi dari masyakat mengenai keengganan Pemilu 2024 itu diselenggarakan. “Nah ini ceruk orang-orang ini ada di Partai Demokrat, ada yang di Partai Gerindra, ada yang di PDIP ada yang di PKB, Golkar, kan di mana-mana ceruk ini. Ya nanti kita lihat mana yang mau dengar suara kami. Itu kan bisa melihat yang paling menguntungkan untuk suara kami,” tuturnya.
Luhut mengatakan, perpanjangan masa jabatan Presiden RI bukan hal yang baru. Karena di negara-negara lain juga banyak yang melakukan hal tersebut. Itu karena pemimpinnya masih dicintai oleh rakyatnya. “Banyak di negara lain (perpanjangan jabatan Presiden, Red). Kan banyak sejarahnya, dan itu pernah terjadi dan cukup banyak terjadi sudah ada,” pungkasnya.
Diketahui, usulan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar alias Cak Imin yang meminta agar Pemilu 2024 ditunda hingga dua tahun itu kemudian mendapat sambutan dari sejumlah elite partai. Seperti Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto dan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan atau Zulhas.
Mereka menyatakan kondisi perekonomian belum stabil akibat Covid-19, sehingga Pemilu 2024 perlu ditunda agar pemerintah bisa fokus untuk pulih. Namun, usulan tersebut mendapat penolakan dari Partai Nasdem, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrat, dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang notabene adalah partai pengusung Jokowi sendiri.
Kendati demikian tidak sedikit pihak-pihak, seperti koalisi masyarakat sipil yang tegas menolak usulan tersebut dan berharap Pemilu serentak tetap bisa dilaksanakan pada 2024 mendatang. (jawapos/fajar)