DEMOKRASI.CO.ID - Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Ahmad Taufan Damanik mengaku pihaknya telah menginisiasi dialog damai antara pemerintah Joko Widodo dan Orang Asli Papua (OAP), termasuk dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Pernyataan ini dibenarkan oleh Komisioner Komnas HAM RI, Beka Ulung Hapsara.
“Betul.. Kita sudah dapat `ijin` utk ketemu dan dialog dengan OPM. Baik di dalam maupun di luar negeri,” kata Beka kepada Jubi, Kamis (10/3/2022).
Dalam pernyataannya Ahmad Taufan Damanik mengklaim Presiden Jokowi, Menkopolhukam Mahfud MD hingga TNI-Polri telah setuju untuk melakukan dialog damai tersebut.
Lanjut Beka, Komnas HAM RI akan datang ke Papua minggu depan untuk membahas wacana ini dengan berbagai pihak.
Wacana dialog damai ini ditanggapi oleh mantan Tahanan Politik (Tapol) Papua, Filep Karma. Mantan tapol ini tidak yakin Komnas HAM RI bisa menjalankan proses dialog damai yang mereka wacanakan ini. Sekalipun Presiden Jokowi dikatakan oleh Komnas HAM RI sudah setuju proses dialog ini dimulai, Karma meragukannya karena Komnas HAM RI selama ini menurutnya tidak pernah tuntas menyelesaikan masalah HAM di Tanah Papua.
“Komnas HAM Indonesia ini selama ini ada dimana? Selama ini kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM di Papua hanya dipublikasikan tanpa penyelesaian. Setelah bikin publikasi terus kasih tinggal begitu saja. Baru sekarang mau inisiasi dialog?” tanya mantan Tapol Papua ini.
Karma mengatakan tahun 2019 lalu Jokowi sudah pernah mengatakan hal yang sama, mau berdialog dengan pihak pro-kemerdekaan Papua. Pernyataannya ini disampaikan di Istana Bogor. Pernyataannya ini merespon usulan sejumlah anggota DPRD se Papua dan Papua Barat.
“Tapi tidak terjadi sampai hari ini,” ujar Karma.
Saat ini, kata Karma, siapapun yang mau melakukan dialog damai atau apapun namanya yang berkaitan dengan persoalan Papua, harus melibatkan pihak internasional.
“Karena sudah jelas akarnya, Papua menjadi bagian dari Indonesia karena keterlibatan pihak internasional. PBB, Amerika Serikat dan Belanda terlibat secara diam-diam dalam aneksasi Papua oleh Indonesia,” kata Karma dikutip dari Jubi, Kamis (10/3/2022).
Perjanjian New York (New York Agreement) 1962, Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 dan Resolusi PBB Nomor 2504 Tahun 1969, yang menjadikan Papua bagian dari Indonesia menurutnya melibatkan pihak internasional.
Lanjutnya, rakyat Papua sudah belajar dari proses Kongres Rakyat Papua II tahun 2001 yang hanya melibatkan Jakarta dengan Rakyat Papua. Posisi rakyat Papua lemah karena pihak-pihak yang mewakili rakyat Papua saat itu tidak konsisten dan bermuka dua.
“Presidium Dewan Pappua (PDP) ada yang kakinya di dua sisi sehingga saat pengambilan keputusan yang krusial, mereka ragu-ragu dan takut. Kami, pihak tahanan politik Papua kalah suara,” kata Karma menjelaskan saat itu posisi tahanan politik Papua adalah Papua Merdeka, tidak ada pilihan lain.
Pihak yang paling tepat berdialog dengan Pemerintah Indonesia, lanjut Karma adalah United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) yang dulu dikenal sebagai Tentara Pembebasan Nasional OPM, sayap militer Organisasi Papua Merdeka (OPM). Kedua organ Papua Merdeka ini menurutnya adalah representasi yang tepat untuk mewakili rakyat Papua berdialog dengan Pemerintah Indonesia.
ULMWP menekankan dialog damai hanya bisa terjadi jika Pemerintah Indonesia menunjukkan keseriusan dalam menangani akar masalah di Papua. Benny Wenda, Ketua ULMWP sebelumnya sudah mengajukan enam syarat agar dialog antara Pemerintah Indonesia dengan ULMWP bisa berlangsung. Syarat-syarat itu adalah : 1. Orang-orang Papua yang telah lama bertekad menuntut referendum, diikutsertakan dalam dialog; 2. Pertemuan dilakukan melalui mediasi pihak ketiga (Misalnya diselenggarakan oleh PBB atau negara pihak ketiga yang disepakati); 3. Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia diizinkan untuk mengunjungi Papua Barat; 4. Pembebasan semua tahanan politik Papua; 5. Penarikan personel militer dan polisi dari seluruh tanah Papua; 6. Membuka akses untuk jurnalis dan LSM internasional ke Papua.
“Supaya kami percaya bahwa niat Indonesia ini serius, Indonesia harus menunjukkan itikad baik dan setuju pra-kondisi kami. Keinginan kami adalah mencapai referendum yang demokratis, untuk menjunjung tinggi hak kami untuk mandiri,” jelas Benny sambil mengulangi syarat-syarat yang sudah pernah diajukan ULMWP.
Karma tegas menolak wacana dialog soal kesejahteraan yang selama ini diwacanakan pemerintah Indonesia.
“Rakyat Papua bukan ingin berdialog soal kesejahteraan. Tapi rakyat Papua harus berdialog soal masa depannya. Status politik dan kedaulatan rakyat Papua sebagai sebuah bangsa yang bebas menentukan nasibnya sendiri,” kata Karma.
Karma yang diyakini memiliki hubungan baik dengan kelompok pro Papua Merdeka juga menolak terlibat dalam proses yang diwacanakan oleh Komnas HAM RI ini. Ia menegaskan posisinya ada bersama rakyat Papua yang menginginkan Papua Merdeka.
“Saya orang yang pernah menjadi tahanan politik karena perjuangan Papua Merdeka. Saat ini pun saya masih menjadi tahanan di penjara yang lebih luas. Posisi saya tidak netral. Saya jelas ada di pihak Papua harus merdeka,” kata Karma. [law-justice]