Meski pemerintah sudah tegas menyatakan tak ada diskusi serius di kabinet soal penundaan pemilihan umum atau perpanjangan masa jabatan presiden, faktanya isu itu terus bergulir. Dipicu oleh pernyataan ketua-ketua partai koalisi, nyatanya motor isu ini orang-orang dekat Jokowi.
Dari mana ide gila itu datang? Kenapa dua partai yang mengklaim sebagai “anak kandung reformasi”, yaitu Partai Amanat Nasional dan Partai Kebangkitan Bangsa, mendukung wacana yang merusak demokrasi dan mengembalikan Indonesia ke zaman kegelapan otoritarianisme?
Kami menelusuri aktor utama yang menggulirkan isu tersebut. Kami mewawancarai sejumlah politikus yang mengetahui penyusunan skenario perpanjangan masa jabatan presiden. Mereka bercerita soal peran menteri kepercayaan Presiden Jokowi, Luhut Pandjaitan, dalam keriuhan wacana penundaan pemilu.
Menurut para narasumber itu, Luhut diduga memanggil tiga ketua umum dan meminta mereka untuk mendorong perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi. Ada juga ketua umum yang ditekan dan bakal kehilangan jabatannya di pemerintahan, juga di partai, jika menolak mengikuti instruksi tersebut.
Skenario perpanjangan masa jabatan Jokowi sesungguhnya telah dijalankan sejak tahun lalu. Sejumlah narasumber bercerita soal peran, lagi-lagi, orang kepercayaan Presiden, yaitu Andi Widjajanto dalam penyusunan skenario tersebut. Tiga skenario, mulai dari terbaik hingga terburuk, disiapkan oleh mantan Sekretaris Kabinet yang kini menjadi Gubernur Lemhannas itu.
Gagasan itu mendapat tentangan dari partai lain. Di Hambalang, Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto, menggelar rapat bersama bawahannya untuk mendiskusikan soal rencana penundaan pemilu. Prabowo telah bertemu Puan dan menyampaikan sikap partainya.
Di parlemen, lobi untuk mendukung perpanjangan masa jabatan Jokowi juga dilancarkan. Sejumlah anggota DPR bercerita, kolega mereka di Senayan juga meminta dukungan tersebut. Para wakil rakyat termasuk yang diuntungkan jika wacana tersebut menjadi nyata. Sebab masa jabatan mereka pun ikut diperpanjang.
Karena ide ini ada dari tahun ke tahun, agaknya ada orkestrasi masif untuk menunggu kelengahan publik agar para politikus bisa mewujudkannya melalui amendemen UUD 1945. Dengan dukungan mayoritas, tak susah bagi Jokowi mencapai cita-cita melanggar konstitusi.
Bagaimana kisahnya? Kami menyajikannya dalam laporan utama. Selamat membaca.
Stefanus Pramono
Redaktur Pelaksana
[tempo]