DEMOKRASI.CO.ID - Desakan agara pejabat pemerintah daerah dicopot menyusul insiden di Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, makin menguat. Sebab mereka dinilai sengaja membiarkan kekisruhan terjadi sehingga memicu konflik sosial yang tajam di Desa Wadas.
“Bisa dikatakan warga Wadas adalah 100 persen warga NU. Saya tidak rela melihat mereka dipecah belah dan terjadi konflik sosial. Menjerit hati ini, saya tidak bisa diam,” ucap tokoh NU Purworejo, KH Muqorobin Bakir, yang akrab disapa Gus Robin, Jumat (18/2).
Desa Wadas kini membetot perhatian nasional. Warga terjebak pro kontra penambangan batu andesit sebagai material pondasi Bendungan Bener yang akan menjadi bendungan tertinggi di Asia Tenggara. Kedalamannya 159 meter.
Bendungan Bener ditargetkan selesai 2023. Namun pembangunan terancam molor karena pondasi utama hingga kini belum digarap akibat material batu andesit belum ada. Batu andesit akan didatangkan dari Desa Wadas yang jaraknya 12 km dari lokasi Bendungan Bener di Desa Guntur, Kecamatan Bener, Purworejo.
“Warga Wadas diobok-obok pihak luar sejak 2016 hingga kini, mereka sudah terjebak konflik sosial. Kasihan betul keadaannya. Tolong jangan ditutup-tutupi kondisi ini,” kata pengasuh Ponpes Majiul Jami Kaliurip, Bener, Purworejo ini.
Konflik sosial yang dimaksud Gus Robin adalah masyarakat Desa Wadas terbelah pada dua kubu, pro dan kontra penambangan batu andesit. Antara dua kubu ini terjadi saling intimidasi. Jika dibiarkan bisa terjadi konflik berdarah.
“Ini tidak bisa dibiarkan begini terus, sangat berbahaya,” ujar Wakil Rois Syuriah MWC NU Kecamatan Bener itu.
Gus Robin menegaskan jangan sampai pemerintah baru bertindak setelah jatuh korban jiwa.
“Kalau sudah terjadi korban dan baru bertindak, itu namanya terlambat. Harus cegah,” tegasnya.
Jika sampai terjadi korban jiwa, lanjut Gus Robin, akan sangat memalukan warga NU. Pasalnya bisa dikatakan 100 persen warga Wadas adalah kaum Nahdliyin yang selama ini dikenal menjunjung tinggi Ukuwah Islamiyah dengan rajin bersilaturahim.
“Keadaan sosial masyarakat Wadas bagai api dalam sekam. Kalau begini terus keadaannya, bisa meledak sewaktu-waktu,” Gus Robin mengingatkan.
Gus Robin menilai aparat pemerintah daerah seakan tutup mata dan membiarkan kekisruhan terjadi di Desa Wadas. Pembiaran terjadi dengan banyak orang luar masuk berhari-hari bahkan berbulan-bulan.
“Itu kan ada aturannya, tamu wajib lapor 1x24 jam. Ini bukan 1x24 jam lagi bahkan berhari-hari dan berbulan-bulan. Banyak sekali orang luar tinggal di Wadas selama beberapa tahun terakhir ini dan itu dibiarkan saja,” ungkap Gus Robin seraya menyitir Permendagri No 5 Tahun 2007.
Untuk menyelesaikan masalah di Wadas, Gus Robin mengusulkan agar jajaran pejabat Pemda perlu dicopot. Jika para pejabat ini dibiarkan saja, masalah Wadas akan terlarut-larut dan potensial terjadi konflik horisontal
'“Masalah Desa Wadas ini berlarut-larut sejak 2016 dan belum kunjung selesai hingga 2022 ini. Solusinya copot dulu pejabat pemerintahan daerah. Ada masalah sensitif kok dibiarkan saja. Apa harus jatuh korban jiwa dulu,” Gus Robin geram.
Lebih lanjut Gus Robin menyatakan agar warga Wadas kembali bersatu, perlu diadakan kegiatan keagamaan dan sosial budaya yang dihadiri warga Wadas dari dua kubu. Dengan demikian sekat-sekat pro kontra sedikit demi sedikit bisa terbuka.
“Intinya perlu didorong silaturahmi antar kedua kubu sehingga komunikasi kembali terbuka. Sekarang ini komunikasi tersumbat di antara dua kubu,” demikian Gus Robin. [rmol]