DEMOKRASI.CO.ID - Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) Andre Rahadian meminta agar jangan sampai ada kekerasan yang digunakan atas nama pembangunan seperti yang terjadi pada kasus Desa Wadas, Purworejo, baru-baru ini. Menurutnya, tindakan represif dan penggunaan kekuatan aparat kepada warga adalah tindakan yang sangat disayangkan.
ILUNI UI sangat memperhatikan kebutuhan pembangunan bangsa, penggunaan sumber daya alam, dan juga proses pemanfaatan kedua hal ini.
"Untuk itu, menurut kami penggunaan tindakan represif dari aparat sebaiknya harus dihindari,” ungkap Andre dalam keterangan resminya pada acara Forum Diskusi Salemba (FDS) bertajuk “Refleksi Pemolisian, Sumber Daya Alam, dan Pembangunan Indonesia: Kisah Wadas".
Untuk itu, kata Andre, pembangunan harus menerapkan prinsip berkelanjutan, serta memperhatikan faktor lingkungan, aspek sosial, dan harus sesuai aturan.
“Pembangunan secara global sudah menggunakan pendekatan ESG atau environmental, social, dan governance. Jadi, Indonesia juga harus mengimplementasikan hal ini,” ujarnya.
Adapun, Ketua Policy Center ILUNI UI Mohammad Jibriel Avessina menilai penting untuk menyelenggarakan diskusi FDS ke-76 kali ini guna mengangkat kisah polemik Desa Wadas.
Policy Center juga mendorong pembangunan kekinian yang bersifat humanis, partisipatoris, dan berpihak pada yang lemah.
“Agenda pembangunan tidak boleh mengorbankan rakyat kecil, tidak boleh ada yang tertinggal. Untuk itu, sebagai bagian dari tanggung jawab intelektual organik di masyarakat. Policy Center ILUNI UI melalui FDS ke-76 ini mengingatkan publik untuk berhati-hati dan sama-sama mengawal proses Wadas. Kisah Wadas jangan sampai menjadi Kedung Ombo jilid 2,” tegasnya.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum YLBHI Muhammad Isnur menyoroti berbagai tindakan aparat yang patut dipertanyakan sebelum dan saat terjadi kejadian di Desa Wadas pada 8 Februari lalu.
Dia menyoroti kehadiran pasukan Brimob bersenjata, intelkam atau reserse, kesatuan Sabara, dan pasukan K-9 dengan anjing pelacak sejak awal rapat koordinasi.
“Berarti sejak awal sudah diasumsikan yang dihadapi orang yang bersenjata, sangat berbahaya, membuat chaos dan kerusuhan luar biasa, dan orang yang akan ditangkap-tangkapin karena reserse sudah diturunkan dari awal,” ungkapnya.
Dia juga berharap, polisi seharusnya wajib menghormati warga yang memperjuangkan haknya. Namun sayangnya, kepolisian dinilai melanggar standar yang dibuatnya sendiri saat menghadapi warga Desa Wadas. Berdasarkan Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, dalam menghadapi situasi di Desa Wadas kepolisian harus menggunakan tahapan sesuai.
“Tahapan 1 kekuatan apa yang harus dipakai, kekuatan 2 apa, kekuatan 3 apa. Ini nggak, dia pakai level 6 dari awal, padahal belum ada apa-apa, belum ada unjuk rasa, tidak ada warga yang menggunakan benda-benda merusak dan lain-lain, ini tidak ada. Tapi sejak awal kondisi langsung dibuat level 6,” ungkapnya.
Sementara itu, Anggota Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengungkapkan, setidaknya ada 334 petani perempuan Desa Wadas yang tergantung hidupnya pada alam. Secara khusus perempuan di Wadas memiliki pengetahuan dan keterampilan pengobatan khususnya jamu dari cabe Jawa, juga keterampilan pengetahuan kerajinan besek.
“Jika sumber ini hilang, maka pengetahuan terkait sistem pengobatan dan keterampilan membuat besek akan hilang. Ini dampak yang diadukan dan dirasakan warga sejak Juli 2020,” katanya.
Siti menyebutkan, hal yang kerap terjadi hampir di seluruh pembangunan infrastruktur yakni konsultasi publik bagi kelompok rentan, misalnya perempuan, penyandang disabilitas, masyarakat adat, dan kelompok pemuda yang dinilai formatif belaka dan tidak substantif.
Dia juga meminta agar Kapolri dan panglima TNI untuk melakukan pendekatan keamanaan sesuai standar HAM. Selain itu, meminta Gubernur Jawa Tengah melihat kasus secara utuh dan mencegah pelanggaran HAM.
”Komnas HAM juga harus memastikan keterlibatan perempuan dalam setiap proses yang dibangun. Sedangkan, untuk kepolisian agar menghentikan penangkapan dan tidak menjadikan warga desa yang memperjuangkan haknya dikriminalisasi. Terakhir, untuk pengukuran ulang harus memperhatikan hak warga negara,” ujarnya.
Adapun, Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengatakan, setidaknya ada empat temuan Komnas HAM terkait kejadian penangkapan di Desa Wadas. Berdasarkan temuannya, Komnas HAM memastikan memang ada kekerasan pada tanggal 8 Februari.
Selain itu, masih ada warga yang belum pulang ke rumah masing-masing karena merasa ketakutan. Komnas HAM juga melihat ada trauma yang diderita oleh warga khususnya perempuan dan anak. Selain itu ada relasi sosial yang tidak baik antara warga yang pro dan kontra akan penambangan di Desa Wadas.
“Dari awal ketika datang ke Wadas pada September 2021, sudah ada informasi bahwa relasi sosial antara warga yang pro dan kontra sudah di level memprihatinkan. Ini penting untuk ditekankan untuk dicari solusi bersama,” ungkapnya.
Sementara itu, Perwakilan ILUNI UI lainnya, Donny Ardyan berpendapat, proyek pembangunan yang mengatasnamakan negara diduga kuat akan menguntungkan oligarki.
Ideologi pembangunan ini terus bekerja dan diteruskan sejak orba hingga sekarang, ditunjukkan dengan adanya kepentingan bungkus atas nama kepentingan negara. Pembangunan tersebut selalu menggunakan unsur-unsur kekuasaan dan kekerasan.
“Itu yang selalu terjadi, penggusuran paksa, bahkan dilanjutkan dan ditambah dengan penangkapan, penyiksaan, sampai terjadi korban jiwa seperti di Montong. Itu bukan sekali dua kali, itu selalu banyak terjadi di setiap proyek yang mengatasnamakan pembangunan,” katanya.
Oleh karena itu, berdasarkan hasil dari diskusi ini, ILUNI UI mengingatkan semua pihak pentingnya pembangunan berkelanjutan. Pembangunan selain bermanfaat untuk warga, juga harus menjaga lingkungan dan alam.
"Pembangunan juga harus memperhatikan aspek-aspek kepatuhan terhadap regulasi dan dilakukan dengan prosedur yang sesuai," pungkasnya. [wartaekonomi]