DEMOKRASI.CO.ID - Gus Miftah kembali memberikan penjelasan terkait pementasan wayang yang menghadirkan wayang mirip Ustadz Khalid Basalamah.
Pentas wayang tersebut digelar di Ponpes Ora Aji, Sleman, DIY, pada Jumat (18/2/2022) kemarin.
Terkait pentas wayang itu, Gus Miftah pun menuai hujatan dari para pendukung Ustadz Khalid Basalamah.
Melalui akun Instagram pribadinya, Gus Miftah kembali memberikan penjelasan.
Bahwa antara menanggap wayang dan cerita wayang adalah dua hal yang berbeda sama sekali.
“Bagi yang mau tahu saja, bedakan 1. nanggap wayang, 2. cerita wayang,” tulisnya, Selasa (22/2/2022) sebagaiamana dikutip PojokSatu.id.
Ia menjelaskan, bahwa yang nanggap wayang adalah si empunya hajat atau panitia.
Sedangkan cerita dan lakon dalam pentas wayang adalah sepenuhnya adalah otoritas dalang yang memainkan wayang.
Akan tetapi, ia menegaskan siap bertanggung jawab atas sajak yang ia bacakan sebelum pentas wayang.
“Sajak yang viral itu tanggung jawab saya silahkan kalau tidak sepaham,” tegas dia.
Namun, Gus Miftah kembali menekankan bahwa dirinya tak bisa mencampuri atau mengintervensi dalang.
“Tapi cerita dan lakon wayang itu otoritas dalang sepenuhnya,” tekan pemilik nama lengkap Miftah Maulana Habiburrahman ini.
Kendati demikian Gus Miftah tak mau ambil pusing dengan hujatan dari para pendukung Ustadz Khalid Basalamah kepada dirinya.
Bahkan, Gus Miftah menyatakan dirinya tak mempermasalahkan jika ia kemudian yang disalahkan dengan nada sindiran.
“Nggak urusan yang penting yang mengadakan kamu!”
“Ya udah gpp yang salah saya,” tutupnya.
Sebelumnya, Gus Miftah menyatakan, bahwa perbedaan pendapat dalam sebuah pandangan adalah hal yang biasa dan sah sah saja.
“Kalau sajak yang saya buat itu tanggungjawab saya sepenuhnya,” tegasnya, Senin (21/2/2022).
Karea itu, Gus Miftah meminta masyarakat bisa memahami segala perbedaan pandangan itu.
“Yang membesar-besarkan itu kan orang-orang yang mencari keuntungan atau mencoba memancing di suasana seperti ini saja begitu,” bebernya.
“Katakanlah, menurut beliau haram, menurut saya tidak. Ya, kan, itu sah-sah saja itu. Salahnya di mana?” sambungnya.
Ia lantas mencontohkan perbedaan pandangan soal hukum merokok antra Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.
“Kan, ya, biasa-biasa saja itu. Salahnya di mana?” tandas pengasuh Pondok Pesantren Ora Aji itu. (ruh/pojoksatu)