DEMOKRASI.CO.ID - Polisi menetapkan aktivis media sosial Edy Mulyadi sebagai tersangka dalam kasus dugaan ujaran kebencian berbasis SARA. Ucapan Edy yang menyebut Kalimantan sebagai 'tempat jin buang anak' berdampak laporan ke polisi.
Namun, berbeda dengan yang dialami Anggota DPR Arteria Dahlan yang juga dilaporkan dugaan ujaran kebencian. Politikus PDIP itu heboh karena ucapannya yang mempersoalkan Kejaksaan Tinggi berbahasa Sunda saat rapat.
Arteria minta Jaksa Agung Burhanuddin untuk memecat Kajati berbahasa Sunda tersebut. Perbedaan penanganan dua kasus itu dianalisa pakar hukum pidana Abdul Fickar Fajar. Dosen Universitas Trisakti itu menilai pada dasarnya semua orang saat melakukan suatu perbuatan itu sama nilainya.
"Cuma memang tempat akan menjadi faktor yang menentukan juga," kata Fickar dalam Apa Kabar Indonesia Malam tvOne yang dikutip VIVA pada Kamis, 3 Februari 2022.
Dia menjelaskan faktor tempat maksudnya bila seorang pengacara atau lawyer bicara berapi-api dengan menyudutkan orang di pengadilan. Menurutnya, hal itu dalam konteks membela kliennya. Kata dia, pengacara itu tak bakal dituntut atas pernyataannya.
"Ketika dia mengemukakan, ketika dia dalam forumnya itu nggak ada masalah karena itu pada tempatnya," tutur Fickar.
Namun, jadi berbeda saat pernyataan yang disampaikan ke publik bukan pada tempatnya.
"Sesuatu menyinggung perasaan orang dikemukakan di ruang publik itu yang menjadi soal. Yang Edy Mulyadi itu kan sebenarnya, dia melempar suatu di ruang publik," kata Fickar.
Bagi dia, ada perbedaan dengan Arteria karena yang bersangkutan bicara dalam rapat dengan Jaksa Agung di DPR. Menurutnya, pernyataan Ateria sesuai dengan forum tempatnya.
"Kalau menurut saya tidak, karena seseorang yang melekat dirinya status tertentu seperti Anggota DPR, ketika dia ngomong di forumnya, di situlah memang forum dia gitu," sebut Fickar.
Pun, ia bilang jika Arteria bicara di luar rapat DPR seperti seminar maka bisa kena.
"Tapi, kalau dia ngomong di luar, di publik, di seminar, atau apa dia bisa kena. Kalau menurut saya bisa ada alasan untuk menjerat secara hukum," tutur Fickar.
Sebelumnya, Arteria dilaporkan Majelis Adat Sunda terkait kasus ujaran kebencian ke Polda Jawa Barat, pada Kamis, 21 Januari 2022.
Pelaporan itu buntut ucapan Arteria yang mempersoalkan penggunaan Bahasa Sunda oleh pihak Kajati di dalam rapat. Tak lama setelah pelaporan itu, Polda Jawa Barat melimpahkan kasus itu ke Polda Metro Jaya. Alasan pelimpahan laporan karena locus delicti atau lokasi peristiwa di Jakarta. Pihak Mabes Polri melalui Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo menyampaikan kasus Arteria masih proses.
"Nanti akan kami sampaikan update-nya dalam waktu yang tidak terlalu lama. Kita tunggu dulu ya, semuanya sedang diproses, kan yang menangani Polda Metro Jaya," kata Dedi, Rabu, 2 Februari 2022. [wartaekonomi]