DEMOKRASI.CO.ID - Pemerintah memutuskan memberi nama ibu kota negara baru Indonesia dengan istilah "Nusantara". Pemberian nama tersebut dinilai terkesan Jawa Sentris.
"Sejak zaman pergerakan ketika istilah ini muncul untuk digunakan sebagai nama wilayah bangsa dan negara yang hendak didirikan, nama Nusantara segera tersingkir karena dianggap Jawa sentris," ungkap Sejarawan JJ Rizal dalam perbincangan, Senin (17/1/2021).
Menurut Rizal, pemberian nama Nusantara bertolak belakang dengan gagasan pokok pemilihan Kalimantan Timur (Kaltim) sebagai lokasi ibu kota negara (IKN) baru. Pemilihan Kalimantan sebagai IKN memang disebut untuk memutus kesenjangan antara wilayah Pulau Jawa dan luar Jawa.
"Sebab istilah Nusantara mencerminkan bias Jawa yang dominan. Nusantara adalah produk cara pandang Jawa masa Majapahit yang mendikotomi antara negara gung (kota Majapahit) dengan manca-negara (luar kota Majapahit)," ucap Rizal.
Ditambahkannya, di luar Majapahit inilah yang disebut sebagai Nusantara. Rizal pun menilai penyebutan istilah Nusantara bukan hanya sekadar dikotomis dalam arti kewilayahaan, tapi juga terkait peradaban.
"Dalam konteks Jawa sebutan mancanegara untuk menjelaskan wilayah yang tidak beradab, kasar tidak teratur atau sesuatu yang sebaliknya dari negara agung yang beradab dan harmonis," tuturnya.
Oleh karena itu, Rizal menilai pemilihan nama Nusantara untuk menandakan ibu kota negara baru kurang tepat.
"Pemakaian nama ibu kota baru Nusantara tidak mewakili pikiran RI yang didirikan sebagai amanat untuk setara, tetapi mewakili arogansi dan dominasi pikiran elite "Keraton Jawa" gaya baru 2022," sebut Rizal.
Sebelumnya, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengungkapkan, ibu kota baru akan diberi nama Nusantara. Nama Nusantara sendiri dipilih karena istilah tersebut sudah dikenal sejak lama dan ikonik di dunia internasional.
"Ini saya baru mendapatkan konfirmasi dan perintah lagsung dari Bapak Presiden yaitu pada hari Jumat. Jadi sekarang hari Senin, hari Jumat lalu, dan beliau mengatakan ibu kota negara ini Nusantara," kata Suharso dalam rapat Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) DPR dengan pemerintah di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (17/1/2022).
Draf RUU IKN sendiri memang belum mencantumkan nama ibu kota baru sehingga hanya disebut sebagai "IKN [...]" di dalam draf RUU yang masuk dalam Prolegnas Prioritas DPR itu.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memilih nama Nusantara dari 80 calon nama yang diajukan. Beberapa nama yang diajukan seperti Negara Jaya, Nusantara Jaya, Nusa Karya, Pertiwipura, dan Cakrawalapura.
"Tetapi kemudian akhirnya dipilih kata Nusantara tanpa kata jaya," kata Suharso.
Nantinya, ibu kota negara baru akan menerapkan konsep otorita atau daerah khusus. Dengan konsep tersebut, IKN bakal dipimpin oleh kepala otorita yang berkedudukan setingkat menteri.
Suharso mengatakan, kekhususan IKN akan berbeda dengan daerah lainnya. Pemerintah daerah khusus IKN tidak akan memiliki dewan perwakilan daerah kekhususan.
"Gubernur atau bupati atau kepala daerahnya tidak juga disebut gubernur dan juga tidak dipilih. Kemudian menjalankan otonomi seluas-luasnya, tetapi terbatas dan seterusnya," sebut dia.
Staf Ahli Kepala Bappenas Bidang Sektor Unggulan dan Infrastruktur Velix Vernando menjelaskan, kepala otorita IKN bakal ditunjuk dan diangkat langsung oleh presiden.
Mekanisme ini sama halnya seperti sistem penunjukan menteri. Artinya, tidak ada pemilihan umum untuk memilih kepala daerah IKN secara langsung oleh penduduk IKN.
"Ia akan ditunjuk dan diangkat, kemudian ditetapkan oleh presiden dengan masa jabatan lima tahun," ucap Velix dalam webinar, Kamis (23/12/2021).
Adapun kewenangan pemerintah daerah khusus IKN mencakup seluruh urusan pemerintahan kecuali urusan di bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, yustisi, moneter, fiskal nasional, dan agama. []