DEMOKRASI.CO.ID - Tenaga Ahli Utama KSP Ali Mochtar Ngabalin memuji Presiden Joko Widodo karena telah berani melawan korupsi dengan menyepakati perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura.
Ngabalin mengatakan, perjanjian itu menjadi bukti aksi Jokowi terhadap tindakan kejahatan, pencucian uang, dan tindak pidana korupsi (tipikor).
“Keberanian yang dilakukan oleh Presiden Jokowi untuk membuktikan kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa soal komitmen terhadap pemberantasan korupsi,” ujar Ngabalin dalam keterangan video dikutip dari Katadata.co.id Jumat 28 Januari 2022.
Adapun perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura memiliki masa retroaktif atau berlaku surut terhitung tanggal diundangkannya selama 18 tahun ke belakang. Hal ini dianggap menjadi warisan yang ditinggalkan Jokowi.
Ngabalin pun mengingatkan seluruh pihak untuk tidak terlibat dengan kasus korupsi. “Jangan coba-coba ada lagi yang mau main-main dengan melakukan tipikor di negeri ini,” katanya.
Namun ternyata, menurut guru besar bidang studi hukum internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana, perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura sudah dilakukan sejak zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Menurut Hikmahanto, perjanjian ekstradisi yang ditandatangani pada Selasa 25 Januari 2021 itu hanya pengulangan penandatanganan dengan amandemen pasal yang mengatur keberlakuan secara retroaktif dari 15 tahun menjadi 18 tahun.
“Di tahun 2007 pemberlakuan 15 tahun agar perjanjian ekstradisi dapat menjangkau mereka yang terlibat dalam pengucuran Bantuan Likuiditas BI (BLBI), utamanya mereka yang telah mengganti kewarganegaraannya menjadi WN Singapura…” ujar Hikmahanto.
Hikmahanto menuturkan bahwa perjanjian ekstradisi tersebut tidak akan langsung berlaku sebab harus melalui proses pengesahan (ratifikasi) oleh DPR.
“Setelah itu dilakukan pertukaran ratifikasi antara Indonesia dan Singapura, baru kemudian perjanjian ekstradisi berlaku,” tutur Hikmahanto. [terkini]