DEMOKRASI.CO.ID - Ibu Kota Negara (IKN) digadang-gadang menjadi wajah peradaban baru pusat pemerintahan di Indonesia. Perencanaan pembangunan ibu kota baru bergulir sejak kepemimpinan kedua Presiden Joko Widodo (Jokowi), tepatnya 2019.
Kala itu, Jokowi berkomitmen untuk tidak menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pasalnya, pembangunan IKN dinilai akan membutuhkan pendanaan hingga hampir setengah kuadriliun atau Rp466 triliun.
"Saya sampaikan kepada Menteri Keuangan, bahwa kami berharap tidak membebani APBN," kata Jokowi dalam acara buka puasa bersama dengan pimpinan lembaga negara di Istana Negara, Jakarta, pada Mei 2019 lalu.
Kebutuhan dana yang begitu besar tentu membuat pemerintah akan mengandalkan kantong kas negara untuk pembangunannya. Saat itu, Jokowi mengklaim pembangunan ibu kota baru hanya akan memakan seperlima anggaran negara. "Yang dari APBN nantinya hanya akan 19 persen," ujarnya.
Artinya, pemerintah 'hanya' akan menggelontorkan dana APBN sebesar Rp88 triliun untuk pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur.
Di lain sisi, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas saat itu Bambang Brodjonegoro mengatakan dana APBN yang akan digelontorkan untuk proyek ibu kota baru mencapai Rp93 triliun.
Hal tersebut disampaikan usai Bambang menerima titah langsung dari Presiden Jokowi pada rapat terbatas yang digelar di Kompleks Istana Kepresidenan pada 6 Agustus 2019.
Bambang mengklaim kebutuhan dana Rp93 triliun dari APBN untuk pembangunan IKN jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya. Pihaknya menghitung kebutuhan anggaran sebelumnya berkisar antara Rp174,5 triliun hingga Rp251,5 triliun.
Oleh karenanya, Bambang memastikan kegunaan anggaran saat itu tidak akan banyak mempengaruhi kantong keuangan negara, lantaran porsinya lebih kecil dari yang diprediksi.
Waktu bergulir, kebijakan nampaknya ikut berbeda. Laman resmi Ibu Kota Negara (IKN) mencatat porsi APBN untuk pembangunan pusat pemerintahan baru tersebut naik dari 19 persen menjadi 53,5 persen.
Tak hanya APBN, berbagai skema pendanaan juga turut akan digelontorkan agar pembangunan proyek ambisius tersebut dapat segera rampung sebelum 2024.
Skema pendanaan tersebut antara lain Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU), swasta, dan BUMN. Ketiganya memiliki porsi pendanaan yang lebih kecil dari APBN yakni 46,5 persen.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai pembangunan ibu kota baru tidak memperdulikan urgensi pemulihan ekonomi yang jauh lebih penting bagi masyarakat secara luas pada tahun ini.
Pasalnya, masih banyak masyarakat yang terdampak pandemi seperti kehilangan pekerjaan hingga pendapatan yang belum pulih sepenuhnya.
"Tentunya ini bentuk kesalahan kebijakan karena tidak memperdulikan masalah urgensi. Apalagi konteksnya pandemi, kemudian juga jumlah penduduk terdampak masih besar, masih banyak kehilangan pekerjaan dan pendapatan belum pulih," kata Bhima kepada CNNIndonesia.com, Senin (17/1).
Lebih lanjut, ia pun menyampaikan bahwa pemerintah telah menyatakan ekonomi belum akan sepenuhnya pulih akibat pandemi hingga 2027. Dengan begitu, pembangunan IKN dinilai tak bisa jadi solusi untuk menyelesaikan masalah ekonomi akibat pandemi.
"Pemerintah sendiri sampaikan bahwa sampai 2027 ekonomi belum pulih, maka pemulihan ekonomi yang tepat bukan dengan pembangunan ibu kota baru. Apalagi dampak pembangunan ibu kota baru terhadap perekonomian relatif kecil, kurang lebih di bawah 1 persen terhadap PDB," ujarnya.
Bhima pun mewanti-wanti pemerintah agar tidak tergesa-gesa dalam pembangunan ibu kota baru. Menurutnya, apabila benar porsi APBN akan jauh lebih besar dibandingkan skema pembiayaan lainnya dikhawatirkan dapat membebankan kas negara dan meningkatkan utang pemerintah.
Ia pun melihat pembangunan ibu kota baru dengan menggunakan kas negara dinilai berpotensi mengalami pembengkakan hingga 70 persen dana pembangunan bersumber dari APBN.
"Ini mengulang cerita Kereta Cepat Jakarta Bandung yang awalnya (pendanaan) dari konsorsium ujung-ujungnya menggunakan dana APBN juga. Jadi pemerintah seperti tidak konsisten dan tidak memiliki perencanaan yang matang," katanya.
Alasan di balik potensi pembengkakan anggaran APBN untuk IKN dapat terjadi karena pembangunan ibu kota negara didominasi oleh pembangunan gedung non-komersial, yakni pusat pemerintahan. Dengan demikian, investor pun akan hitung-hitungan dana yang akan digelontorkannya.
Terkait investasi pembangunan ibu kota baru, Bhima justru khawatir investasi yang akan dicairkan bukan dalam bentuk investasi langsung atau foreign direct investment (FDI), melainkan dalam bentuk lain yang dapat membebankan anggaran negara.
"Tentunya kita perlu pertanyakan juga instrumen apa yang akan dibeli oleh investor. Khawatirnya mereka bukan investasi langsung, tetapi membeli utang dari BUMN atau dari pemerintah, ini namanya pinjaman berkedok investasi. Kalau gitu apapun yang terjadi dengan ibu kota baru, negara tetap harus bayar utang, bunga dan cicilan pokok itu," ucapnya.
Apabila pemerintah tetap bersikeras untuk membangun ibu kota baru di tengah pemulihan ekonomi, Bhima menyarankan agar pemerintah sebisa mungkin untuk mendapatkan investasi langsung tanpa harus tukar guling aset pemerintah.
Kemudian, pemerintah harus berkonsentrasi keras agar pembangunan ibu kota dapat memberikan dampak yang signifikan bagi masyarakat secara luas, bukan hanya menguntungkan bisnis tertentu.
Terakhir, pemerintah perlu membuat perencanaan yang detail dan transparan agar pembangunan IKN tidak menimbulkan pembayaran pajak yang lebih tinggi bagi masyarakat.
Persoalan Baru
Ekonom mengingatkan pemerintah agar pembangunan ibu kota baru tidak membebani APBN di tengah pandemi yang belum berakhir. Ilustrasi. (Dok. Kementerian PUPR). |
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy mengatakan pembangunan ibu kota baru tidak menjadi masalah, apabila pemerintah masih dapat berkomitmen untuk menyelesaikan permasalahan pemulihan ekonomi di tengah pandemi.
"Tidak masalah apabila ingin bangun IKN, tapi komitmen pemerintah untuk penanganan masalah sosial ekonomi harus berjalan beriringan. Jangan sampai anggaran IKN tahun ini segitu, tapi nanti anggaran penanganan sosial ekonominya lebih rendah, padahal tahun ini masih masa transisi pemulihan ekonomi dan anggaran itu masih dibutuhkan," katanya.
Ia justru mengkhawatirkan pembangunan ibu kota baru dengan menggunakan kas negara dapat menimbulkan persoalan baru. Pasalnya, anggaran negara yang terbatas tentu akan memaksa pemerintah mengurangi pos belanja di bidang tertentu dan menambah biaya untuk pembangunan ibu kota baru.
"Ketika ruang belanja sangat padat, mana yang prioritas, pasti ada yang ditambah dan ada yang dikurangi. Masalahnya kalau yang dikurangi itu yang esensial dan besar kemungkinan anggaran akan lebih besar untuk IKN, ini justru akan jadi isu baru," ucapnya.
Di lain sisi, Yusuf berharap pemerintah dapat menggaet investor asing. Hal ini dikarenakan, menurutnya, pembangunan ibu kota baru tidak akan menarik bagi skema KPBU. "Justru harapannya akan banyak kesana (investasi), skema KPBU tidak menarik untuk dijalankan," katanya.
Yusuf menilai masih ada pos pendanaan lain yang bisa digunakan untuk pembangunan IKN. Pos pendanaan tersebut dapat datang dari Lembaga Pengelola Investasi (LPI) Indonesia Investment Authority (INA) yang bisa menjadi alternatif bagi investor untuk menanamkan modalnya secara langsung bagi pembangunan ibu kota baru.
Namun demikian, ia tidak berharap banyak dengan investasi yang datang dari luar negeri sebelum investasi tersebut terbukti keberadaannya dan dapat direalisasikan dengan baik, bukan sekedar janji belaka. [cnn]