DEMOKRASI.CO.ID - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) senang Herry Wirawan dituntut hukuman mati dan kebiri kimia.
Selain hukuman mati dan kebiri, JPU juga menuntut seluruh harta peninggalan Herry Wirawan diberikan untuk masa depan korban dan anaknya.
Kepala Divisi Pengawasan, Monitoring dan Evaluasi KPAI Jasra Putra berharap tuntutan itu bisa memberikan rasa keadilan bagi para korban.
Apalagi, pelaku mengatakan bahwa alasan melakukan tindakan tersebut karena khilaf.
“Semoga tuntutan Jaksa tersebut membawa rasa keadilan bagi 13 santri dan bayi bayinya serta keluarga yang menjadi korban,” ungkap Jasra kepada JawaPos.com, Rabu (12/1/2022).
Tuntutan JPU itu patut diapresiasi karena mewakili rasa keadilan keluarga korban dan masyarakat.
Apalagi hasil putusan itu diusulkan kepada hakim dengan memperhatikan dan berpusat pada pemulihan korban jangka panjang.
“Tentu kita akan menghormati apapun keputusan hakim atas tuntutan Jaksa tersebut,” sambungnya.
Proses persidangan juga dinilai menunjukkan komitmen penegakan hukum yang berpusat pada pemulihan korban.
Juga masa depan anak anak dan masa depan bayi yang menjadi korban pelaku.
“Bila dikabulkan hakim, maka ini akan menjadi ancaman bagi para pelaku kejahatan seksual anak, bahwa negara tidak memberi ruang sekecil apapun bagi pelaku kejahatan seksual pada anak,” pungkas Jasra.
Akan tetapi, hukuman mati terhadap Herry Wirawan itu tak disukai Komnas Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Komisioner Komnas HAM Beka Ulung beralasan, hukuman mati dan kebiri bertentangan dengan prinsip HAM.
Beka Ulung menilai, hak hidup seseorang merupakan hak yang tak bisa dikurangi dalam situasi apa pun.
Akan tetapi, Komnas HAM setuju juga pelaku perkosaan dan kekerasan seksual dengan korbannya anak-anak jumlah banyak dihukum berat atau maksimal.
Beka menjelaskan hukuman maksimal yang dimaksud adalah yang sesuai dengan KUHP dan undang-undang tentang perlindungan anak.
“Bukan hukuman mati atau kebiri kimia,” kata Beka Ulung, Selasa (11/1/2022). (ruh/int/pojoksatu)