DEMOKRASI.CO.ID - Pakar Hukum Pidana Petrus Selestinus menilai majelis hakim pengadilan Tipikor tidak bisa menjatuhkan vonis hukuman mati terhadap terdakwa kasus Asabri Heru Hidayat. Hal ini, kata Petrus, disebabkan keteledoran dari JPU dalam membangun konstruksi dakwaan dan tuntutan. Menurut Petrus, jika majelis hakim mengikuti ketentuan yang berlaku, maka tuntutan JPU soal hukuman mati diabaikan karena tidak terdapat dalam surat dakwaan.
“Jika merujuk aturan yang ada, maka terdakwa Heru Hidayat tidak bisa divonis hukuman mati, dan itu jelas keteledoran JPU di dalam membangun konstruksi dawaan dan tuntutan,” ujar Petrus kepada wartawan, Sabtu (15/1).
Petrus justru curiga tuntutan hukuman mati dalam kasus Asabri, tampak dipolitisir dan terlalu dipaksakan oleh JPU. Pasalnya, hukuman mati tersebut muncul secara tiba-tiba dalam tuntutan, tanpa diuraikan dalam surat dakwaan sebagai dasar pemeriksaan dan tuntutan JPU.
Sementara, kata dia, sudah jelas diatur dalam KUHAP Pasal 182 ayat (4) yang menyebutkan bahwa Musyawarah Majelis Hakim sebagaimana dimaksus pada ayat (3) harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang.
“Jadi, dalam aturan KUHAP itu jelas disebutkan ‘surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang’, kata penghubung yang dipakai adalah DAN bukan ATAU. Karena itu putusan hakim tidak boleh keluar dari substansi surat dakwaan dan fakta-fakta persidangan,” jelas Petrus.
Dalam surat dakwaan terhadap Heru Hidyat dalam kasus Asabri, JPU tidak memasukkan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor yang mengatur ancaman pidana mati bagi terdakwa. Dalam penjelasan Pasal tersebut dikatakan bahwa pidana mati diberikan jika korupsi dalam kondisi tertentu, yakni bencana nasional, krisis moneter dan pengulangan tindak pidana.
Lebih lanjut, Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) ini mengingatkan majelis hakim agar hati-hati dan menjaga independensinya dalam memutuskan hukuman dengan ancaman pidana mati terhadap Asabri Heru Hidayat. Majelis hakim, kata dia, tidak boleh tunduk pada tekanan publik untuk membenarkan hukuman mati dengan melanggar ketentuan yang berlaku.
“Hakim tidak boleh terpengaruh oleh emosi publik, tekanan publik dan narasi populis demi membenarkan hukuman mati dalam memutuskan perkara tanpa mengindahkan peraturan perundang-undangan dan fakta-fakta persidangan,” pungkas Petrus.
Diketahui, sejumlah pakar hukum juga sudah mengkritik tuntutan terhadap Heru Hidayat oleh JPU. Pasalnya, tuntutan tersebut tidak terdapat dalam surat dakwaan. Salah satu diantaranya adalah Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Andi Hamzah yang mengatakan bahwa tuntutan JPU di persidangan tidak boleh melebihi surat dakwaan. Menurut dia, bahkan hakim dilarang memutuskan perkara di luar dari surat dakwaan.
Andi mencontohkan dalam kasus perdata, tidak bisa penggugat dalam dakwaan meminta ganti kerugian Rp 10 miliar, tetapi dalam tuntutan menjadi Rp 20 miliar. Hakim, kata dia, juga memutuskan suatu perkara pasti sesuai dengan surat dakwaan. []