DEMOKRASI.CO.ID - Pernyataan Edy Mulyadi yang menyebut lokasi Ibukota Negara baru di Kalimantan Timur sebagai tempat "jin buang anak" tidak bisa dibawa ke ranah hukum pidana.
Dijelaskan Ketua Umum Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA), Eggi Sudjana Mastal, perumpamaan "jin buang anak" merupakan ujaran yang dikenal secara umum oleh masyarakat Betawi. Khususnya mereka yang tersebar di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, hingga Bekasi (Jabodetabek).
"Depok saja dulu tempat jin buang anak, bahkan Bekasi juga begitu. Ungkapan ini sama sekali tidak bermasalah secara hukum. Dalam pendekatan azas legalitas hukum pidana, bahwa seseorang tidak dapat dipidana, bila tidak (ada) hukum yang mengaturnya (pasal 1 ayat 1 KUHP)," kata Eggy dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (27/1).
Menurutnya, jika ungkapan "jin buang anak' dipersoalkan secara hukum, sudah pasti ada ratusan hingga ribuan orang masuk penjara karena menggunakan idiom ini sejak zaman nenek moyang.
"Siapa yang pertama ungkapan itu? Pasti sudah wafat, maka berdasar pasal 78 KUHP, orang yang sudah mati , maka putus semua perkaranya, jadi bagaimana mau dituntut," ucapnya.
Ia juga menyebut, ujaran 'tempat jin buang anak' ditujukan kepada lokasi IKN yang berada jauh sekali dari Jakarta. Apalagi IKN itu belum difasilitasi sebagai sebuah Ibukota seperti Jakarta.
Jadi, lanjut Eggi, ujaran "tempat jin buang anak" itu bukan ditujukan kepada Suku, Agama, Ras, Antargolongan (SARA).
"Baru kemudian ketahui melalui buku kajian yang diterbitkan WALHI, lahan IKN tersebut mayoritas dikuasai oleh pengusaha dari Jakarta. Ada Sukanto Tanoto, Hasyim Jojohadikusumo, Reza Herwindo, Luhut Binsar Panjaitan hingga Yusril Ihza Mahendra, sudi kiranya KPK perhatikan hal ini dan periksa atuh!" katanya.
Menurut Eggi, pernyataan yang disampaikan Edy Mulyadi merupakan kritik sosial terhadap rencana pindah ibukota yang UU-nya baru saja disahkan 18 Januari yang lalu.
Terhadap UU ini, bahkan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Prof Din Syamsuddin dan sejumlah tokoh lainnya berencana mengajukan Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK), juga perlu dicermati zaman Soekarno sudah ada UU No 10 Tahun 1964 tentang Ibukota yaitu Jakarta.
"Ungkapan 'jin buang anak' tidak dapat diproses dengan ketentuan pasal 28 ayat (2) jo pasal 45A ayat (2) UU Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan UU nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE. Mengingat, ujaran yang disampaikan bukan ditujukan kepada suku, agama, ras atau golongan," ujarnya.
"Ungkapan/idiom tersebut, ditujukan kepada masyarakat yang ada di Jakarta, untuk menggambarkan tempat lokasi IKN yang jauh, sepi bahkan seram (karena lokasi hutan dan tambang batubara yang meninggalkan banyak lubang)," sambung Eggi.
Ditambahkan Eggi, ujaran "jin buang anak" tidak dapat diproses dengan dengan ketentuan pasal 14 atau 15 Tentang Tindak Pidana dari UU No 1 Thn 1946. Mengingat di satu sisi lokasi IKN yang dijelaskan memang jauh dari Jakarta, dan dikuasai para taipan, lokasinya yang sepi adalah itulah fakta bukan kabar bohong alias hoaks .
Pun tidak dapat diproses dengan pasal 16 UU No 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Mengingat Edy Mulyadi tidak pernah menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis tertentu.
Sebab, masih kata Eggi, Edy Mulyadi dalam paparannya, mengajukan kritik atas lokasi IKN yang berada di kawasan hutan, perkebunan, dan tambang yang dikuasai taipan-taipan di Jakarta, yang jauh, sepi, dan angker.
Jadi, Eggi meminta penyidik bisa lebih berperan untuk memediasi agar perkara ini bisa selesai secara musyawarah dan mufakat. Apalagi, Edy telah menunjukkan itikad baik dengan mengajukan permohonan maaf kepada masyarakat Kalimantan.
"Memaksa ungkapan 'jin buang anak' ke ranah hukum, akan menurunkan kredibilitas Polri. Maka wajar, jika nantinya akan muncul kesan terjadi kriminalisasi terhadap aktivis Islam yang kontra rezim," tandasnya. [rmol]