DEMOKRASI.CO.ID - Beberapa hari lalu Presiden China, Xi Jinping, dikabarkan menelepon Presiden Republik Indonesia Joko Widodo. Upaya ini tampaknya bisa dipahami sebagai bentuk gelagat Beijing menekan pemerintah Jokowi secara halus terkait larangan ekspor batu bara dan sengketa di Laut Natuna.
Menurut laporan Strait Times, dalam pembicaraan itu Xi menyerukan kedua negara agar saling membantu memerangi Covid-19.
Dia juga ingin menjalin kerja sama dengan Indonesia di seluruh sektor industri dalam rangka memberantas virus corona, mulai dari produksi vaksin hingga penelitian dan pengembangan obat.
Namun, salah satu pengamat Hukum Internasional dari Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah, mengungkapkan pembicaraan telepon itu merupakan penekanan China terhadap Indonesia terkait pelarangan ekspor batu bara.
"Dari perspektif China atas Presiden Indonesia, maka telepon ini adalah sebuah tekanan psikologis, agar Presiden Jokowi benar-benar mengetahui, jika keputusan pelarangan ekspor Batu Bara tersebut telah berdampak Internasional," kata Rezasyah kepada CNNIndonesia.com, Kamis (13/1).
Awal Januari lalu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melarang ekspor batu bara hingga akhir bulan ini.
Para pengusaha batu bara di Indonesia disebut tak mematuhi kewajiban pemenuhan batu bara untuk kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation/DMO).
China merupakan salah satu negara yang mengandalkan impor batu bara dari Indonesia. Kebijakan yang sempat menggemparkan sejumlah negara maju itu dianggap akan mengganggu pemenuhan kebutuhan energi di negara mereka.
Pada gilirannya, ketahanan negara pun bisa terancam apabila kebutuhan industri akan batu bara terganggu.
"Secara tidak langsung, China menyatakan memiliki ketergantungan batu bara dari RI Sehingga kebijakan baru pemerintah Indonesia disebut mengganggu ketahanan China," jelas Rezasyah lagi.
Selain China, beberapa negara bahkan secara terang-terangan merasa keberatan dengan kebijakan itu dan meminta dicabut. Negara itu diantaranya Korea Selatan, Filipina, dan Jepang.
Senada dengan Rezasyah, Guru Besar HI dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menyoroti pembicaraan telepon Jokowi dan XI karena China merasa terganggu.
"Menurut saya iya (terganggu)," kata Hikmahanto saat ditanya apakah tindakan Xi lantaran mereka terganggu dengan kebijakan baru yang dikeluarkan Indonesia soal pelarangan ekspor batu bara.
Bila ekspor batu bara itu ditutup, ia berpendapat, "Akan mengganggu kepentingan ekonomi pasar. Soalnya ada pernyataan (China) seperti ini, 'menjaga kepentingan ekonomi pasar dan negara berkembang.'"
Meskipun Xi paham betul kepentingan negara berkembang terkait pasokan batu bara demi memenuhi kebutuhan dalam negerinya, lanjut dia.
Namun, sejauh ini, ia tak mengetahui apakah tindakan China akan berdampak terhadap kebijakan Indonesia.
"Kalau ada perubahan berarti upaya diplomasi Jinping berhasil. Kalau tidak, ya berarti Indonesia teguh dengan keputusannya," ucap dia.
Indonesia juga diketahui menjadi salah satu negara yang bergantung secara ekonomi pada China. Kedekatan semacam itu akan membuat Jakarta dalam posisi sulit, apakah ketergantungan utang akan mempengaruhi sikap negara atau tidak.
Jika utang dalam konteks komersial, katanya, Indonesia akan tetap mempertahankan kemandiriannya mengenai kebijakan batu bara.
Namun, jika utang tersebut sudah dimanfaatkan untuk tujuan politik akan beda cerita.
"Kalau utang sudah dimanfaatkan untuk tujuan politik sebagai pengganti alat kolonialisme, pemerintah mungkin akan mengubah kebijakan yang dibuatnya sendiri," kata dia.
Berdasarkan data Statistik Utang Luar Negeri Indonesia per Oktober 2021, total Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia dari China sebesar US$20.86 miliar atau sekitar Rp298 triliun.
Tekanan halus China melalui Xi Jinping soal sengketa di Laut Natuna, baca di halaman berikutnya...
Selain soal pelarangan ekspor batu bara, Rezasyah juga menggarisbawahi pembicaraan petinggi negara itu terkait isu Natuna yang menyangkut penggalian minyak dan gas alam.
Agustus lalu, kapal riset China, Hai Yang Di Zhi 10, terdeteksi di perairan Natuna. Menurut peneliti Ocean Justice Initiative (IOJI), kapal tersebut tengah melakukan riset.
Kemudian pada Desember lalu, IOJI juga mendeteksi upaya gangguan yang dilakukan kapal China Coast Guard 6305 (CCG 6305) terhadap aktivitas eksplorasi minyak dan gas di Wilayah Kerja (WK) Tuna, di ZEE Indonesia Laut Natuna.
Tak lama kemudian, Beijing melayangkan protes ke Kementerian Luar Negeri RI terkait pengeboran minyak dan gas alam dilakukan Indonesia di wilayah LCS. Mereka meminta Jakarta menghentikan pengeboran sumber daya alam itu.
Namun, pemerintah Indonesia bersikap tegas dengan meneruskan pengeboran lantaran wilayah itu bagian dari hak kedaulatan negara ini.
Pembicaraan Xi dan Jokowi baru-baru ini, menurut Rezasyah, juga sebagai bentuk ketidakpuasan mereka atas tanggapan RI.
"Pascanota protes China, menunjukkan ketidakpuasan China atas tanggapan dari birokrasi Indonesia. Karena itu, China membuka ruang dialog baru, langsung antar Presiden."
Ketidakpuasan itu juga bisa disebut sebagai wujud tekanan China soal natuna. Rezsyah berkata, "Ya tekanan halus. Konon surat China belum kunjung dibalas."
Selain itu, tindakan Xi juga menunjukkan China ingin memperkuat posisinya dalam menghadapi negara-negara yang mengklaim wilayah LCS di ASEAN serta kesepakatan Inggris, Australia dan Amerika Serikat atau AUKUS. Dengan catatan, jika Indonesia memahami perspektif China soal penanganan di wilayah yang sejak lama disengketakan itu.
"Tidak mustahil, China akan membuat opini lanjutan, perihal sudah adanya pelunakan sikap RI dalam memandang LCS," kata Rezasyah.
Berbeda dengan Rezasyah, Hikmahanto memandang pembicaraan mereka berdua, bukan untuk menekan Indonesia menyusul adanya kasus penggalian minyak dan gas alam di perairan Natuna.
Ia hanya mengungkapkan, "Enggak (menekan) lah menurut saya. Kalau itu (isu Laut China Selatan) sampai kiamat akan terus bermasalah soalnya," tuturnya.
Hal positif dari pembicaraan di telepon itu menggambarkan tingginya penghormatan China atas kepemimpinan Jokowi dan kedekatan secara psikologi antar mereka.
Meski demikian, telepon Xi Jinping kepada Jokowi merupakan bagian diplomasi langsung untuk menunjukkan kepentingan China atas RI. [cnn]