DEMOKRASI.CO.ID - Pemerinta Indonesia dan Singapura sudah resmi menandatangani perjanjian ekstradisi, sehingga buronan Indonesia tidak dapat bersembunyi di Singapura lagi. Namun, jika perjanjian ini dijegal oleh DPR, maka peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menduga ada kepentingan lain.
Perjanjian ekstradisi itu telah disepakati dua negara dalam pertemuan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong di Bintan, Kepulauan Riau, Selasa (25/1). Lucius mengatakan selama ini usulan pemerintah mulus dibahas di DPR. Namun, ia menduga akan ada perlakuan berbeda terhadap ratifikasi perjanjian ekstradisi ini.
"Jika nanti ternyata nasib ratifikasi ini berbeda dari sikap DPR atas RUU-RUU usulan Pemerintah, maka ada kepentingan berbeda antara Presiden dan DPR terkait ekstradisi ini," ucap Lucius.
"Kepentingan berbeda ini tampaknya masih soal peluang Singapura menjadi tempat pelarian yang aman jika seseorang berurusan dengan kasus hukum korupsi," imbuhnya.
Dia mengingatkan sejumlah buronan kasus korupsi Indonesia menjadikan Singapura sebagai tempat pelarian. Beberapa di antaranya adalah mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin dan politikus PDIP Harun Masiku.
Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura juga pernah disepakati pada 2007. Namun, kesepakatan itu tidak terwujud karena terhambat ratifikasi di DPR.
Lucius berpendapat DPR punya agenda tersendiri jika kejadian di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu terulang kembali. Dia menduga hal itu mengarah ke pelanggengan korupsi.
"Artinya, untuk urusan ekstradisi dengan Singapura ini, DPR menunjukkan perannya sebagai kaki tangan koruptor jika tak segera membahas dan mengesahkan Perjanjian ekstradisi RI dan Singapura," kata Lucius.
Sebelumnya, Indonesia dan Singapura menyepakati perjanjian ekstradisi. Dengan demikian, kedua negara bisa meminta orang yang menurut hukumnya dinilai melakukan kejahatan meskipun yang bersangkutan berada di luar negeri.
Meski sudah disepakati, aturan itu belum bisa diterapkan. Pemerintah harus mendapat persetujuan DPR lewat ratifikasi untuk bisa menerapkan perjanjian ekstradisi tersebut.
Perjanjian serupa pernah disepakati Indonesia-Singapura pada 2007. Namun, pemerintahan Presiden SBY tidak bisa menjalankannya karena DPR tak memberi ratifikasi terhadap perjanjian itu. [law-justice]