OLEH: JOHAN O. SILALAHI
MASIH terekam kuat dan jelas dalam ingatan Saya, bagaimana dinginnya dan basah karena keringat telapak tangannya Jokowi, saat Saya genggam tangannya, Saya doakan dan Saya sampaikan dukungan moril kepadanya, persis sebelum naik ke panggung ‘Debat Capres’ tujuh tahun lalu.
Sangat wajar dan manusiawi, saat itu Jokowi memang terlihat sangat grogi dan kurang percaya diri. Jokowi harus berdebat dengan pasangan lawannya, Prabowo dan Hatta Rajasa, yang sudah berurat dan berakar di lingkaran pemerintahan negara Kita.
Ketika Jokowi masih bergelut dengan kayu dan furnitur, Prabowo Subianto sudah panjang karier militernya sebagai jenderal bintang 3 dengan jabatan Pangkostrad.
Saat Jokowi baru mulai bermimpi untuk menjadi Walikota Solo, Hatta Rajasa sudah menjadi Menteri di Kabinet Gotong Royong, membantu Presiden Megawati mengurus bangsa dan negara Kita.
Tapi ternyata seiring waktu yang berubah, sifat dan perilaku manusia pun ikut berubah. Jokowi yang Saya kenal saat masih menjadi Walikota Solo, hingga “mendapat durian runtuh” tiba-tiba jadi Presiden Republik Indonesia, ternyata sudah berbeda seperti langit dengan bumi.
Sebagai rakyat biasa, Saya sangat prihatin karena dari kejauhan Saya merasakan, sosok Jokowi yang sekarang seolah-olah “over confidence”, sering “offside” karena “abuse of power”, dan menjadi seperti seorang “Raja”. Mungkin saja karena Saya sudah menelaah banyak data dan fakta, tentang kiprah dan sepak terjang Jokowi. Mulai dari Walikota Solo, kemudian menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Sebentar lagi akan sepangkat dengan Saya, kembali menjadi rakyat biasa. Karena akan segera lengser dari jabatannya sebagai Presiden RI. Karena berlatar belakang suku Batak dan dibesarkan di Kota Medan yang terkenal dengan kesetiakawanan, Saya terbiasa blak-blakan dan tidak suka bersikap munafik.
Sejak kecil Saya diajarkan oleh kedua orang tua untuk selalu berkata jujur, objektif dan apa adanya. Sebagai sahabat lama, Saya ingin mengingatkan, sebelum Jokowi terlambat dan lupa akan filosofi kehidupan, bahwa “setiap orang ada masanya, setiap masa ada orangnya”.
Jokowi harus ingat menghitung hari, karena masanya sudah pendek tersisa, jangan sampai runyam dan semuanya menjadi sia-sia.
Jokowi perlu diingatkan tentang berbagai kegagalannya sebagai Walikota Solo. Ia pernah menyatakannya secara jantan di berbagai media. Seperti yang diberitakan dalam Koran Tempo edisi 12 September 2012, “Saya tak merasa berhasil menjadi Walikota Solo”. Jokowi menyatakan secara terbuka, bahwa Ia merasa gagal dalam menata kota Solo, gagal merelokasi warga bantaran dan pedagang kaki lima, dan gagal mengatasi kemiskinan di Solo.
Ada banyak program Jokowi yang mangkrak di Solo. Ada juga yang tidak dibahas dan dikupas tuntas, tentang bagaimana kegagalan dan terbakar sia-sia uang rakyat yang dipakai untuk membangun sedemikian panjang jalan layang untuk pejalan kaki menuju stasiun Solo.
Saya cukup banyak mengetahui sejarah dan kisah penting di Solo, karena dekat dengan banyak tokoh penting di Solo. Yang pasti Saya paham betul bahwa bagi rakyat Solo, pemimpin sejati yang sesungguhnya adalah FX Hadi Rudyatmo, mantan Wakil Walikota Solo yang kemudian menggantikan Jokowi menjadi Walikota Solo.
Jokowi juga perlu diingatkan berbagai kegagalannya saat memimpin DKI Jakarta. Sangat mudah menguraikannya karena ada banyak diberitakan di berbagai media. Tapi ada satu yang sirna dan menguap begitu saja, karena sangat besar nilainya hingga sekian triliun rupiah, kerugian negara yang hangus terbakar sia-sia, dalam pengadaan Bus Trans Jakarta buatan China.
Bahkan sampai sekarang tidak ada satupun media yang pernah memberitakan, dimana wujud dan bangkai sedemikian banyak Bus Trans Jakarta buatan China, yang dulu hanya berfungsi sekejap saja dan sekarang tidak ada satupun yang tersisa.
Sungguh aneh tapi nyata, seperti “kesirep” tidak ada satupun di antara para pembantunya serta orang-orang disekelilingnya di Istana Negara, yang menyadari bahwa Jokowi bukan manusia sempurna.
Jokowi punya banyak kelemahan dan kegagalan yang nyata, terbukti saat memimpin Solo, saat memimpin DKI Jakarta, dan saat memimpin Indonesia pada periode pertama. Jokowi seperti “dikultuskan” oleh para pembantunya, seolah-olah manusia yang sempurna, tidak pernah khilaf dan tidak punya salah.
Kita belum pernah mendengar, ada salah satu menterinya yang berani berkata tidak kepada Jokowi, atau yang paling elegan dan bijaksana, ada di antara menterinya yang berani mengundurkan diri dari jabatannya, karena merasa bahwa Jokowi sudah tidak pernah merasa salah dan tidak bisa menerima kritik, masukan dan saran, demi masa depan bangsa dan negara Kita.
Secara objektif Saya sangat setuju dengan rencana memindahkan Ibukota Jakarta ke Kalimantan, sebagai pulau terbesar dengan wilayah daratan terluas di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sesungguhnya Bapak Pendiri (Founding Father) bangsa Indonesia, Presiden Soekarno juga sudah merencanakannya sejak Indonesia merdeka. Secara geopolitis dan geostrategis, memang sangat strategis untuk masa depan bangsa Indonesia.
Secara pribadi Saya juga senang Kalimantan menjadi ibukota negara, karena Ayahanda Istri Saya berasal dari Kalimantan. Tentu saja, pada ketiga anak-anak Saya ikut mengalir darah Kalimantan dari suku Banjar dan suku Dayak. Hanya saja yang patut Kita sayangkan dan harus diwaspadai, Jokowi sebagai pemimpin tertinggi bangsa dan negara, telah membuat rencana strategis pemindahan ibukota negara dari DKI Jakarta ke Kalimantan, menjadi beresiko tinggi dan berbahaya.
Karena Jokowi memutuskan rencana pindah ibukota laksana seorang “Raja” dan maunya serba instan dan segera. Ia memutuskannya dengan terburu-buru, sangat ambisius, tidak transparan dan terbuka, dan seperti mengabaikan aspirasi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam benak dan imajinasi Jokowi, kekuatan mayoritas di lembaga legislatif DPR RI yang berhasil dikumpulkannya, sudah merupakan aspirasi seluruh rakyat Indonesia.
Jokowi terjebak “off side”, dengan memposisikan dirinya seolah-olah “Raja” di “Kerajaan Indonesia” dengan titah “sabda pandita ratu”. Bahwa dirinya adalah pengambil keputusan mutlak dan satu-satunya di negara yang berbentuk republik dengan asas demokrasi Pancasila.
Jokowi seperti tidak menyadari bahwa memindahkan ibukota negara bukan sekedar membangun fisik dan prasarana belaka. Yang paling utama dan terpenting adalah membangun peradaban manusia dan komunitas masyarakat di ibukota negara yang baru di Kalimantan.
Sejarah seluruh bangsa dan negara di dunia sudah membuktikan, untuk memindahkan ibukota negara, membutuhkan proses evolusi yang panjang, tidak bisa dengan kilat dan instan seperti sekian banyak proyek “Sangkuriang” yang selama ini dititahkan Jokowi kepada Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, salah seorang pembantunya.
Selama memimpin Indonesia, Jokowi bersama para pembantunya seperti berupaya keras menggulirkan “logika pendek akal” bahwa “tidak ada yang tidak bisa diubah, kecuali Kitab Suci semua agama”.
Tetapi, mereka sendiri akhirnya melanggar “logika pendek akal” tersebut, terkait pemindahan Ibu Kota Negara. Jokowi dan para menterinya lupa, bahwa “logika pendek akal” itu seperti pisau bermata dua, yang bisa berbalik memakan tuannya.
Jokowi, para menterinya dan para anggota legislatif DPR RI yang telah mensahkan berlakunya peraturan perundang-undangan tentang Ibu Kota Negara yang baru di Kalimantan, lupa akan “logika pendek akal” yang mereka anut dan gulirkan sekian lama. Bahwa siapapun yang akan menjadi Presiden RI berikutnya bisa menggunakan “logika pendek akal” yang sama, bahwa “apapun bisa diubah kecuali Kitab Suci semua agama”.
Mau bagaimanapun caranya, atau dengan aturan hukum apapun mereka mengamankan kebijakan tentang pemindahan ibukota negara, pada akhirnya tetap saja “logika pendek akal” akan bisa membatalkannya.
Setiap saat dimanapun Saya sedang berada di seluruh dunia, yang selalu menjadi perhatian dan pemikiran Saya adalah bagaimana dengan masa depan Indonesia kelak. Siang ini, saat sedang mendengarkan khotbah Shalat Jumat di salah satu Mesjid di Amerika, tiba-tiba terlintas dalam pikiran Saya, bagaimana Jokowi dan para Menterinya tidak menyadari bahwa sesungguhnya mereka sedang menghadapi risiko besar kegagalan pemindahan Ibu Kota Negara.
Karena sadar atau tidak sadar, Jokowi telah mempersonifikasikan dirinya dengan seluruh rakyat Indonesia dan Ibukota Negara yang baru di Kalimantan. Jokowi tidak menyadari bahwa belum tentu seluruh rakyat Indonesia atau setidaknya mayoritas rakyat Indonesia, setuju dan sepakat dengan pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan.
Atau bisa juga mayoritas rakyat Indonesia setuju dengan pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan, tapi tidak setuju dengan cara Jokowi dan para menterinya, yang grusa-grusu dan tergesa-gesa, seperti memiliki “hidden agenda”.
Seperti yang Kita ketahui bersama, program sangat strategis pemindahan Ibu Kota Negara, telah diperintahkan Jokowi kepada semua pembantunya sebagai proyek “Sangkuriang” berikutnya.
Apapun dan bagaimanapun caranya, Jokowi punya mau, tahun 2024 harus sudah pindah dan berkantor di Istana Negara yang baru di Kalimantan. Jokowi dan para pembantunya seperti lupa bertanya dan memetik pelajaran dari para pengembang perumahan (developer) di Jakarta, berapa puluh tahun waktu yang mereka habiskan untuk bisa mewujudkan sebuah area baru perumahan terpadu, hanya di satu wilayah kecil di seputaran Ibukota Jakarta.
Satu hal yang pasti ancaman bahaya yang nyata di depan mata Kita, Jokowi sudah menggelindingkan bola salju raksasa yang bisa ikut menenggelamkannya bersama seluruh rakyat Indonesia.
Karena Pemilu dan Pilpres 2024 persis 2 (dua) tahun mendatang, akhirnya bisa menjadi “ajang referendum” seluruh rakyat Indonesia, untuk menentukan siapa yang setuju dan tidak setuju dengan pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan.
Atau bisa juga menentukan yang setuju dan tidak setuju memindahkan Ibu Kota Negara ke Kalimantan, dengan grusa-grusu dan tergesa-gesa. Walaupun sudah menjadi rahasia umum bahwa Jokowi dan lingkaran inti pembantunya, berupaya dengan segala cara untuk mengamankan supaya pemimpin Indonesia selanjutnya yang akan menggantikannya adalah sekutunya.
Tapi, sungguh Jokowi dan para pembantunya seperti sudah pendek akal, mereka seolah-olah tidak berpikir bagaimana jika ternyata isu politik dalam Pemilu dan Pilpres 2024 menjadi berubah.
Ternyata yang terjadi jauh sebelum Pemilu dan Pilpres 2024 berlangsung, opini publik yang menguat dan mayoritas rakyat Indonesia sudah memilih, tidak mendukung kemauan dan keinginan Jokowi dan para Menterinya, memindahkan Ibu Kota Negara ke Kalimantan.
Atau opini publik yang menguat dan mayoritas rakyat Indonesia sudah memutuskan, tidak mendukung kemauan dan keinginan Jokowi dan para Menterinya untuk memindahkan Ibu Kota Negara ke Kalimantan, dengan grusa-grusu dan tergesa-gesa.
Maka akibatnya, siapa pun kandidat Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden nanti, demi supaya terpilih dan bisa memenangkan Pilpres 2024, suka tidak suka dan mau tidak mau, akan berjanji kepada seluruh rakyat Indonesia, mereka akan membatalkan kemauan dan keinginan Jokowi, memindahkan Ibu Kota Negara ke Kalimantan, atau memindahkan Ibu Kota Negara ke Kalimantan dengan grusa-grusu dan tergesa-gesa.
Semoga saja tidak terjadi kemungkinan yang terburuk dan paling ekstrim, jika sampai mayoritas rakyat Indonesia meminta untuk dibatalkan pemindahan Ibu Kota Negara yang baru ke Kalimantan.
Tidak bisa dibayangkan, berapa banyak kerugian uang dan utang negara Kita, yang hangus dan terbakar sia-sia untuk ambisi irasional Jokowi, karena ingin memindahkan Ibu Kota Negara ke Kalimantan, dengan grusa-grusu dan tergesa-gesa.
Saya hanya bisa berdoa, Ya Allah Ya Tuhanku, selamatkan dan lindungi selalu bangsa dan negaraku tercinta. Selamatkan dan lindungi juga sahabat baikku Jokowi dan keluarganya, dari ambisinya dan bisikan para pembantunya, yang dapat mencelakakan dirinya dan keluarganya.
Penulis adalah Pendiri Negarawan Indonesia