DEMOKRASI.CO.ID - Pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago merasa mustahil tindakan Moeldoko mengambil alih kepemimpinan Partai Demokrat lewat kongres luar biasa (KLB) Sibolangit, tidak diketahui pihak Istana.
Pasalnya, Moeldoko merupakan bagian dari pemerintahan Joko Widodo, menjabat sebagai kepala staf kepresidenan (KSP).
Selain itu, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai ketua umum Partai Demokrat juga sudah memberi sinyal jauh hari.
Putra Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu mengingatkan dugaan keterlibatan Moeldoko dalam upaya pengambilalihan paksa yang kemudian menjadi kenyataan.
"Jadi, dengan membiarkan Moeldoko bikin 'ribut' di Partai Demorat, menjadi indikasi kuat adanya keterlibatan Istana dalam persoalan ini," ujar Pangi dalam keterangannya, Senin (8/3).
Menurut Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting itu, presiden perlu mengambil tindakan yang tegas terhadap Moeldoko. Yakni memecat secara tidak hormat dari posisi KSP.
Perbuatan Moeldoko patut diduga telah mencoreng wajah presiden dan menambah beban Istana.
"Itu saja tidak cukup, pemerintah saya kira perlu menyakinkan publik tidak ada dualisme kepengurusan di PD. Kemudian, mengakui bahwa AHY ketua umum PD yang sah," ucapnya.
Pangi menyebut, pemerintah cukup menolak memberikan legitimasi, menolak mengesahkan hasil KLB PD Sibolangit.
"Dari rangkaian bentangan emperis indikasi tersebut, jika presiden tidak melakukan langkah apa pun, tidak bunyi, maka dugaan keterlibatan Istana adalah sebuah keniscayaan," katanya.
Pangi lebih lanjut mengatakan, campur tangan pemerintah dalam internal partai politik merupakan ancaman serius.
Ia bahkan menggambarkannya sebagai lonceng kematian bagi demokrasi.
"Saya kira politik belah bambu yang menyasar partai oposisi adalah cara berpolitik yang tidak etis," katanya.
Apalagi, komposisi koalisi pemerintahan sudah terlalu gemuk, 6 dari 9 partai di parlemen dengan total 75 persen kursi, sudah menjadi bagian dari koalisi pemerintahan.
"Dengan memecah belah partai oposisi lalu menenteng menjadi bagian dari partai koalisi pemerintah, maka DPR akan kembali ke masa suram, menjadi 'stempel' bagi kekuasaan, menjadi lembaga yes man (eksekutif heavy)," tuturnya.
Terhadap indikasi-indikasi yang mengemuka, Pangi menyebut patut dicurigai ada agenda terselubung yang sedang didisain.
"Mungkinkah amandemen UUD 1945 terutama kaitannya dengan periode jabatan presiden yang mau ditambah menjadi 3 periode?"
"Apa pun agendanya, masyarakat layak curiga. Karena cara-cara culas sudah pasti tujuannya akan merugikan semua," pungkas Pangi. (*)