DEMOKRASI.CO.ID - Menteri BUMN Erick Thohir menunjuk Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj sebagai Komisaris Utama PT Kereta Api Indonesia (KAI).
Jogja Corruption Watch (JCW) pun menganggap Sang Kyai tak memberi contoh yang baik.
"Jika KH Said Aqil Siradj tidak segera mengundurkan diri dari salah satu jabatan yang dipegangnya saat ini, maka ada kesan KH Said Aqil Siradj memberikan contoh tidak baik bagi pejabat lainnya," tutur Aktivis JCW Baharuddin Kamba, Kamis (4/3/2021).
Sebelum ditunjuk sebagai Komisaris Utama PT KAI, KH Said Aqil Siradj merupakan Anggota Dewan Pengarah BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila).
"JCW meminta kepada KH Said Aqil Siradj untuk mundur dari salah satu jabatannya," imbuh Kamba.
Kamba mengungkapkan, berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 42 Tahun 2018 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas lainnya bagi Pimpinan, Pejabat, dan Pegawai BPIP, besaran Hak Keuangan Ketua Dewan Pengarah BPIP adalah Rp 112.548.000 per bulan. Sementara gaji anggota dewan pengarah sebesar Rp.100.811.000 per bulan.
Masa jabatan BPIP adalah lima tahun sejak 2018 hingga 2023 nanti.
"Artinya, jika dilihat memang ada dugaan rangkap jabatan yang dijabat oleh KH Said Aqil Siradj yakni sebagai Komisaris Utama di PT KAI juga menjabat sebagai anggota dewan pengarah BPIP," tutur dia.
Kamba menjelaskan, JCW memandang bahwa dari sisi etika publik rangkap jabatan tidaklah pas.
Sejatinya, fenomena rangkap jabatan bukanlah hal yang baru di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) karena sebelumnya Ombudsman RI telah menemukan praktik rangkap jabatan di tubuh Kementerian BUMN.
"Rangkap jabatan dapat berpotensi menimbulkan konflik kepentingan saat merumuskan kebijakan.
Sebelumnya, KH Said Aqil Siradj ditunjuk Menteri BUMN Erick Thohir bersama empat orang lainnya sebagai Komisaris di PT KAI.
Selain sebagai Komisaris Utama, KH Said Aqil Siradj juga merangkap sebagai Komisaris Independen di perusahaan kereta api di Indonesia tersebut. []