DEMOKRASI.CO.ID - Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengambil alih perkara dugaan korupsi pembelian tanah Cengkareng oleh Pemprov DKI Jakarta era Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Hal itu merupakan salah satu gugatan yang dibacakan MAKI di sidang perdana gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Senin (1/3).
"Iya (hari ini sidang). Baru sidang perdana karena Senin minggu kemarin Kejati DKI belum datang," ujar Koordinator MAKI, Boyamin Saiman kepada Kantor Berita Politik RMOL.
Dalam gugatan ini, MAKI melawan Kapolri sebagai termohon I, Jaksa Agung sebagai termohon II, Kompolnas sebagai termohon III, dan KPK sebagai termohon IV. Gugatan ini dilakukan karena dihentikannya penyidikan terkait pembelian tanah di Cengkareng di era Ahok.
Dalam petitum gugatan yang dibacakan hari ini, MAKI meminta Majelis Hakim Praperadilan PN Jaksel untuk menyatakan secara hukum bahwa Termohon I telah melakukan tindakan penghentian penyidikan secara diam-diam yang tidak sah menurut hukum dalam bentuk tidak menetapkan tersangka dan tidak segera melimpahkan berkas perkara kepada Termohon II.
Selanjutnya, MAKI meminta Majelis Hakim untuk menyatakan bahwa Termohon III telah turut serta melakukan tindakan penghentian penyidikan secara diam-diam yang tidak sah menurut hukum.
"Memerintahkan Termohon IV (KPK) mengambil alih penyidikan perkara aquo dan selanjutnya menetapkan tersangka serta melimpahkannya ke Pengadilan Tipikor untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya," bunyi petitum keenam.
Selain itu, MAKI meminta agar Majelis Hakim memerintahkan Kapolri dan Jaksa Agung untuk melimpahkan berkas perkara dan barang bukti kepada KPK.
Boyamin menjelaskan, perkara awal terjadi pada 2015. Saat itu, Dinas Perumahan dan Gedung Perkantoran Pemprov DKI melakukan pembelian lahan seluas 46 hektare yang direncanakan untuk pembangunan rumah susun dengan harga Rp 668 miliar yang bersumber dari APBD DKI.
Seiringnya waktu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan bahwa lahan yang dibeli oleh Pemprov DKI era Ahok ternyata tercatat sebagai aset milik Dinas Kelautan, Pertanian dan Ketahanan Pangan Pemprov DKI.
Selanjutnya, kata Boyamin, pada awal penyidikan perkara tindak pidana korupsi ini, Bareskrim Polri telah mengirimkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) kepada Kejaksaan Agung pada 29 Juni 2016. Namun, tidak disertai nama tersangkanya.
Selama proses penyidikan, Bareskrim tidak memberikan informasi perkembangan penyidikan kepada Jaksa Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung (Kejagung).
Kejagung pun telah mengirimkan surat permintaan informasi perkembangan penyidikan kepada Bareskrim sebanyak dua kali. Namun, tidak digubris oleh Bareskrim.
Kemudian, Bareskrim Polri pun selanjutnya melimpahkan berkas perkara ke Polda Metro Jaya. Akan tetapi, pihak Kepolisian juga tidak kunjung menetapkan tersangka.
"Bahwa dengan berlarut-larutnya penanganan atas pokok perkara korupsi pembelian tanah Cengkareng, sudah seharusnya diambil alih oleh Termohon IV (KPK). Yang mana, juga tidak dilakukan oleh Termohon IV," kata Boyamin.
Boyamin pun menyoroti putusan Mahkamah Agung (MA) dalam perkara nomor 553K/TUN/2017 tanggal 15 Desember 2017 yang memperlihatkan bahwa tanah yang dibeli Pemprov DKI era Ahok telah disengketakan di Pengadilan sejak 2013 dan Pemprov melalui Suku Dinas Pertanian menjadi pihak dalam perkara tersebut.
"Sehingga seharusnya Pemerintah DKI Jakarta Cq Gubernur Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2015 (Ahok) lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan apakah akan membeli tanah tersebut atau tidak," terang Boyamin. (*)